Sabtu, 06 Desember 2008

ULUMUL QUR'AN


1. Pengertian Qira'at

Al-Qira'at adalah jamak dari kata qir'at yang berasal dari qara'a - yaqra'u - qirâ'atan. Menurut istilah qira'at ialah salah satu aliran dalam mengucapkan Al-Qur'an yang dipakai oleh salah seorang imam qura' yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan Al-Qur'anul Karim. Qira'at ini berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW.

2. Apakah pada masa Sahabat sudah ada qari-qari?

Benar ada. Periode qura' yang mengajarkan bacaan Al-Qur'an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan standard dari masa sahabat yang mulia.
Diantara sahabat yang populer dengan bacaannya adalah: Ubay, Aly, Zaid ibnu Tsabit, Ibnu Mas'ud. Abu Musa al-Asy'ary dan lain-lain.
Dari mereka itulah kebanyakan para sahabat dan tabi'in di seluruh daerah belajar. Mereka itu semuanya berpedoman kepada Rasulullah SAW sampai dengan datangnya masa tabi'in pada permulaan abad ke-2 H. Selanjutnya timbul golongan-golongan yang begitu memperhatikan adanya tanda baca secara sempurna manakala diperlukan dan mereka menjadikannya sebagai satu cabang dari ilmu sebagaimana halnya ilmu-ilmu syari'at yang lain.

Bagaimanakah sejarah timbulnya Qira'at

Telah kami ketahui terdahulu bahwa periodesasi qurra' adalah sejak zaman sahabat sampai dengan masa tabi'in. Orang-orang yang menguasai tentang Al-Qur'an ialah yang menerimanya dari orang-orang yang dipercaya dan dari imam demi imam yang akhirnya berasal dari Nabi.
Sedangkan mushhaf-mushhaf tersebut tidaklah bertitik dan berbaris, dan bentuk kalimat di dalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. Kalau tidak, maka kalimat itu harus ditulis pada mushhaf dengan satu wajah kemudian ditulis pada mushhaf lain dengan wajah yang lain dan begitulah seterusnya.
Tidaklah diragukan lagi bahwa penguasaan tentang riwayat dan penerimaan adalah merupakan pedoman dasar dalam bab qira'at dan Al-Qur'an. Kalangan sahabat sendiri dalam pengambilannya dari Rasul berbeda-beda. Ada yang membaca dengan satu huruf sedang yang lain ada yang mengambilnya dan huruf/bacaan. Dan bahkan yang lain lagi ada yang lebih dari itu. Kemudian mereka bertebaran ke seluruh penjuru daerah dalam keadaan semacam ini.
Utsman r.a. ketika mengirim mushhaf-mushhaf ke seluruh penjuru kota ia mengirimkan pula orang yang sesuai bacaannya mempunyai satu segi bacaan dan yang lainnya ada pula yang lebih dari itu. Oleh karena itulah timbulnya banyak perbedaan dan kurang adanya keseragaman antara sesamanya. Pada masa itu himbauan tokoh-tokoh dan pemimpin ummat untuk bekerja keras sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga bisa membedakan antara bacaan yang benar dan yang tidak benar. Mereka mengumpulkan huruf dan qira'at, mengembangkan wajah-wajah dan dirayah, menjelaskan yang benar dan yang salah serta yang berkembang dan yang punah dengan pedoman-pedoman yang mereka kembangkan dan segi-segi yang mereka utamakan.(1)

Jumlah Qira'at Dan Aneka Ragam Pendapat Tentang Qira'at

Qira'at ada macam-macam jenisnya. pendapat tentang qira'at itu sendiri juga sangatlah beragam dan semua pendapat tersebut sangatlah berbobot seperti yang tertera di bawah ini.
Pengarang kitab Al-Itqan menyebutkan macam-macam qira'at itu ada yang mutawatir, masyhur, Syadz, ahad, maudhu' dan mudarraj.
Qadhi' Jalaluddin al-Bulqiny mengatakan: Qira'at itu terbagi ke dalam: mutawatir, ahad dan syadz.
Yang mutawatir adalah qira'at tujuh yang masyhur. Yang ahad adalah qira'at tsalatsa (tiga) yang menjadi pelengkap qira'ah 'asyrah (sepuluh), yang kesemuanya dipersamakan dengan qira'at para sahabat. Adapun qira'at yang syadz ialah qira'at para tabi'in seperti qira'at A'masy, Yahya ibnu Watsab, Ibnu Jubair dan lain-lain.
Imam as-Suyuthy mengatakan bahwa kata-kata di atas perlu ditinjau kembali. Yang pantas untuk berbicara dalam bidang ini adalah tokoh qurra' pada masanya yang bernama Syaikh Abu al-Khair ibnu al-Jazary dimana beliau mengatakan dalam muqaddimah kitabnya An-Nasyr: "Semua qira'at yang sesuai dengan bacaan Arab walau hanya satu segi saja dan sesuai dengan salah satu mushhaf Utsmany walaupun hanya sekedar mendekati serta sanadnya benar maka qira'at tersebut adalah shahih (benar), yang tidak ditolak dan haram menentangnya, bahkan itu termasuk dalam bagian huruf yang tujuh dimana Al-Qur'an diturunkan. Wajib bagi semua orang untuk menerimanya baik timbulnya dari imam yang tujuh maupun dari yang sepuluh atau lainnya yang bisa diterima. Apabila salah satu persyaratan yang tiga tersebut di atas tidak terpenuhi maka qira'at itu dikatakan qira'at yang syadz atau bathil, baik datangnya dari aliran yang tujuh maupun dari tokoh yang lebih ternama lagi. Inilah pendapat yang benar menurut para muhaqqiq dari kalangan salaf maupun khalaf.
Pengarang kitab Ath-Thayyibah dalam memberikan batas diterimanya qira'at mengatakan: Setiap bacaan yang sesuai dengan nahwu, mirip dengan tulisan mushhaf Utsmany, benar adanya itulah bacaan. Ketiga sendi ini, bila rusak salah satunya menyatakan itu cacat, meski dari qira'at sab'ah datangnya.
Qira'at ada yang mengartikan qira'at sab'ah, qira'at sepuluh dan qira'at empat belas. Semuanya yang paling terkenal dan nilai kedudukannya tinggi ialah qira'at sab'ah.
Qira'at sab'ah (tujuh) adalah qira'at yang dinisbatkan kepada imam yang tujuh dan terkenal, yaitu: Nafi', Ashim, Hamzah, Abdullah bin Amir, Abdullah ibnu Katsir, Abu Amer ibnu 'Ala' dan Ali al-Kisaiy.
Qira'at 'asyar (sepuluh) adalah qira'at yang tujuh ditambah dengan qira'at: Abi Ja'far, Ya'qub dan Khalaf.
Qira'at arba' 'asyar (empat belas) yaitu qira'at yang sepuluh ditambah empat qira'at: Hasan al-Bashry, Ibnu Mahish, Yahya al-Yazidy dan asy-Syambudzy.
Ilmu qira'at adalah ilmu yang lahir pada masa yang sebelumnya tidak pernah disebut-sebut. Orang yang pertama menyusunnya adalah Abi Ubaid al-Qasim ibnu Sallam, Abu Hatim as-Sajistany, Abi Ja'far ath-Thabary dan Ismail al-Qadhy.
Bilakah qira'at menjadi populer?
Qira'at sab'ah populer diseluruh negara Islam pada permulaan abad kedua hijriyah. Di Bashrah orang membaca menurut qira'at Abi Amr dan Ya'qub. Di Kufah menurut qira'at Hamzah dan Ashim, di Syam menurut qira'at Ibnu Amir, di Makkah menurut qira'at Ibnu Katsir dan di Madinah menurut qira'at Nafi'.

Qari Tujuh Yang Masyhur

Para Qari yang hafal Al-Qur'an dan terkenal dengan hafalan serta ketelitiannya, dan menyampaikan qira'at kepada kita sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat Rasulullah SAW.
Qira'at yang mutawatir semuanya kita kutip dari para qari yang hafal Al-Qur'an dan terkenal dengan hafalan serta ketelitiannya. Mereka ialah imam-imam qira'at yang masyhur yang meyampaikan qira'at kepada kita sesuai dengan yang mereka terima dari sahabat Rasulullah SAW. Mereka memiliki keutamaan ilmu dan pengajaran tentang kitabullah Al-Qur'an sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Sebaik-baiknya orang diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya".
Syaikh Abul Yusri 'Abidin telah menyebutkan nama-nama qari dalam dua bait sya'ir:
Nafi', Ibnu Katsir, 'Ashim dan Hamzah, Abu 'Amer, Ibnu 'Amir dan Kisaiy.
Itulah tujuh Imam yang tak diragukan lagi.

1. Ibnu 'Amir

Nama lengkapnya adalah Abdullah al-Yahshshuby seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid ibnu Abdul Malik. Pannggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah seorang tabi'in, belajar qira'at dari Al-Mughirah ibnu Abi Syihab al-Mahzumy dari Utsman bin Affan dari Rasulullah SAW. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Orang yang menjadi murid, dalam qira'atnya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan.
Dalam hal ini pengarang Asy-Syathiby mengatakan: "Damaskus tempat tinggal Ibnu 'Amir, di sanalah tempat yang megah buat Abdullah. Hisyam adalah sebagai penerus Abdullah. Dzakwan juga mengambil dari sanadnya.

2. Ibnu Katsir

Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir ad-Dary al-Makky, ia adalah imam dalam hal qira'at di Makkah, ia adalah seorang tabi'in yang pernah hidup bersama shahabat Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub al-Anshari dan Anas ibnu Malik, dia wafat di Makkah pada tahun 120 H. Perawinya dan penerusnya adalah al-Bazy wafat pada tahun 250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.
Asy-Syathiby mengemukakan: "Makkah tempat tinggal Abdullah. Ibnu Katsir panggilan kaumnya. Ahmad al-Bazy sebagai penerusnya. Juga..... Muhammad yang disebut Qumbul namanya.

3. 'Ashim al-Kufy

Nama lengkapnya adalah 'Ashim ibnu Abi an-Nujud al-Asady. Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah. Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi'in yang wafat pada sekitar tahun 127-128 H di Kufah. Kedua Perawinya adalah; Syu'bah wafat pada tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H.
Kitab Syathiby dalam sya'irnya mengatakan: "Di Kufah yang gemilang ada tiga orang. Keharuman mereka melebihi wangi-wangian dari cengkeh Abu Bakar atau Ashim ibnu Iyasy panggilannya. Syu'ba perawi utamanya lagi terkenal pula si Hafs yang terkenal dengan ketelitiannya, itulah murid Ibnu Iyasy atau Abu Bakar yang diridhai.

4. Abu Amr

Nama lengkapnya adalah Abu 'Amr Zabban ibnul 'Ala' ibnu Ammar al-Bashry, sorang guru besar pada rawi. Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu Amr itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya adalah ad-Dury wafat pada tahun 246 H. dan as-Susy wafat pada tahun 261 H.
Asy-Syathiby mengatakan: "Imam Maziny dipanggil orang-orang dengan nama Abu 'Amr al-Bashry, ayahnya bernama 'Ala, Menurunkan ilmunya pada Yahya al-Yazidy. Namanya terkenal bagaikan sungai Evfrat. Orang yang paling shaleh diantara mereka, Abu Syua'ib atau as-Susy berguru padanya.

5. Hamzah al-Kufy

Nama lengkapnya adalah Hamzah Ibnu Habib Ibnu 'Imarah az-Zayyat al-Fardhi ath-Thaimy seorang bekas hamba 'Ikrimah ibnu Rabi' at-Taimy, dipanggil dengan Ibnu 'Imarh, wafat di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja'far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan perantara Salim.
Syatiby mengemukakan: "Hamzah sungguh Imam yang takwa, sabar dan tekun dengan Al-Qur'an, Khalaf dan Khallad perawinya, perantaraan Salim meriwayatkannya.

6. Imam Nafi.

Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi' ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na'im al-Laitsy, asalnya dari Isfahan. Dengan kemangkatan Nafi' berakhirlah kepemimpinan para qari di Madinah al-Munawwarah. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada tahun 12 H, dan Warasy wafat pada tahun 197 H.
Syaikh Syathiby mengemukakan: "Nafi' seorang yang mulia lagi harum namanya, memilih Madinah sebagai tempat tinggalnya. Qolun atau Isa dan Utsman alias Warasy, sahabat mulia yang mengembangkannya.

7. Al-Kisaiy

Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan nama Abul Hasan, menurut sebagiam orang disebut dengan nama Kisaiy karena memakai kisa pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah desa di Negeri Roy ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rasyid pada tahun 189 H. Perawinya adalah Abul Harits wafat pada tahun 424 H, dan ad-Dury wafat tahun 246 H.
Syathiby mengatakan: "Adapun Ali panggilannya Kisaiy, karena kisa pakaian ihramnya, Laits Abul Haris perawinya, Hafsah ad-Dury hilang tuturnya.

selajengipun monggoo...

ULUMUL QUR'AN

Kaitan Qiro’at dengan Al-Qur’an diturunkan tujuh huruf

Ada banyak riwayat yang seperti anda katakan, menyebutkan bahwa Al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf, di antaranyaadalah lafadz hadits berikut ini:
Dari Ibn Abbas berkata bahwaRasulullah SAW bersabda, "Jibril membacakan (Qur''an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf."

Dari Umar bin Khatab ia berkata, "Aku mendengar Hisyam bin Hakim membacakan surah al-Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat dia shalat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam. Begitu salam, aku tarik selendangnya dan bertanya, "Siapakah yang membacakan (mengajarkan bacaan) surah itu kepadamu? Dia menjawab: ''Rasulullah yang membacakannya kepadaku.'' Lalu aku katakan kepadanya: ''Dusta kau! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surah yang kau dengar tadi engkau membacanya (tapi tidak seperti bacaanmu).'' Kemudian aku bawa dia ke hadapan Rasulullah, dan aku menceritakan kepadanya bahwa '' Aku telah mendengar orang ini membaca surah al-Furqan dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surah al-Furqan kepadaku.'' Maka Rasulullah berkata: '' Lepaskan dia, wahai Umar. Bacalah surah tadi, wahai Hisyam, Hisyam pun membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. Maka kata Rasulullah SAW: ''Begitulah surah itu diturunkan.'' Ia berkata lagi: ''Bacalah wahai Umar, lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah; begitulah surah itu diturunkan.'' Dan katanya lagi: ''Sesungguhnya Qur''an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu, di antaranya.''
Masih banyak hadits-hadits yang terkait dengan tema yang sama. Hadis-hadis yang berkenaan dengan hal itu amat banyak jumlahnya dan sebagian besar telah diselidiki oleh Ibn Jarir di dalam pengantar tafsirnya. Semuanya bisa diterima dan saling menguatkan.
As-Suyuti menyebutkan bahwa hadis-hadis tersebut diriwayatkan dari dua puluh orang sahabat. Bahkan Abu ''Ubaid al-Qasim bin Salam telah menetapkan kemutawatiran hadis mengenai turunnya Qur''an dengan tujuh huruf.
Namun para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan istilah tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibn Hayyan mengatakan: ''Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat."
Namun kebanyakan pendapat itu bertumpang tindih. Di sini kami akan kemukakan beberapa pendapat di antaranya yang dianggap paling mendekati kebenaran.
1. Pendapat Pertama
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna; dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Qur''an pun diturunkan dengan sejumlah lafal sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Qur''an hanya mendatangkan satu lafaz atau lebih saja.
Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu. Dikatakan bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Huzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.


Menurut Ibnu Hatim as-Sijistani, Qur''an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Huzail, Tamim, Azad, Rabi''ah, Haazin, dan Sa''d bin Bakar. Dan diriwayatkan pula pendapat lain."
2. Pendapat Kedua
Suatu hukum berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dengan nama Qur''an diturunkan, dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Qur''an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi. Yaitu bahasa paling fasih di antara kalangan bangsa arab.
Meskipun sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim atau Yaman; karena itu maka secara keseluruhan Qur''an mencakup ketujuh macam bahasa tersebut.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah Qur''an. Bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
Menurut Abu ''Ubaid bahwayang dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang bertebaran dalam Qur''an. Sebagiannya bahasa Quraisy, sebagian yang lain bahasa Huzail, Hawazin, Yaman dan lain-lain. Dan sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung karena dominan dalam Qur''an."
3. Pendapat Ketiga
Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh wajh, yaitu:
• amr (perintah)
• nahyu (larangan)
• wa''d (janji)
• wa''id (ancaman)
• jadal (perdebatan)
• qashash (cerita)
• matsal (perumpamaan).
Ibnu Mas''ud meriwayatkan bahwa Nabi berkata, "Kitab umat terdahulu diturunkan dari satu pintu dan dengan satu huruf. Sedang Qur''an diturunkan melalui tujuh pintu dengan tujuh huruf, yaitu: zajr (larangan), amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amsal."
4. Pendapat Keempat
Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah: tujuh macam hal yang di antaranya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu:
a. Ikhtilaful asma''(perbedaan kata benda):
Yaitu dalam bentuk mufrad (tunggal), muzakkar (laki)dan cabang-cabangnya, seperti tasniyah, (double), jamak (plural)dan ta''nis (perempuan). Misalnya firman Allah (al-Mukminun:8)
Pada kata li amanatihin, bisa dibaca pendek pada huruf nun(li amanatihim) dengan makna tunggal, yaitu satu amanah saja. Namun bisa juga dibaca dengan panjang menjadi li amanaatihimdengan bentuk mufrad dan dibaca pula dengan bentuk jamak.
Sedangkan rasamnya (penulisannya) dalam bentuk mushaf adalah
Yang memungkinkan kedua qiraat itu dibaca, baik pendek atau pun panjang, karena tidak adanya alif yang disukun.
Tetapi kesimpulan akhir dari kedua macam qiraat itu adalah sama. Sebab bacaan dengan bentuk jamak dimaksudkan untuk arti istighraq (keseluruhan) yang menunjukkan jenis-jenisnya.
Sedang bacaan dengan bentuk mufrad, dimaksudkan untuk jenis yang menunjukkan makna banyak. Yaitu semua jenis amanat yang mengandung bermacam-macam amanat yang banyak jumlahnya.
b. Ikhtilaf fil i''rab atau Perbedaan dalam segi I''rab,
Seperti firman Allah:
Ini bukan manusia (QS. Yusuf:31)
Jumhur ulama Qiraaat membacanya dengan nasab (accusative) menjadi maa hadzaa basyara, dengan alasan bahwa kata berfungsi seperti kata () dan ini adalah bahasa penduduk hijaz yang dalam bahasa inilah Qur''an diturunkan
Sedang Ibn Mas''ud membacanya dengan rafa'' (nominatif) () menjadi maa hadza basyarun, sesuai dengan bahasa Bani Tamim, karena mereka tidak memfungsikan (seperti (³).
Perbedaan Dalam Tasrif

Contohnya seperti di dalam firman Allah SWT berikut ini:
Ya tuhan kami, jauhkanlah perjalanan kami (QS. Saba'': 19),
Lafadz rabbana oleh sebagian ulama dibaca dengan menasabkan ربّ�نا karena menjadi munada'' mudhaf dan باع�د dibaca dengan bentuk perintah (fi''il amar).
Namun lafaz rabbana dibaca pula dengan tasrif yang berbeda menjadi rabbuna yang statusnya rafa''. Kedudukannya bukansebagai munada tetapi sebagai mubtada''. Dan kata ba''id berubah menjadi baa''ada. Dengan perbedaan pengucapan ini, maka artinya berubah menjadi, "Tuhan kami menjauhkan kami dalam perjalanan."
5. Pendapat Kelima
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah (maksudnya bukan bilangan antara enam dan delapan), tetapi bilangan tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang arab.
Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Qur''an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi.
Sebab lafaz sab''ah (tujuh) dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, seperti kata tujuh puluh'' dalam bilangan bilangan puluhan, dan ''tujuh ratus'' dalam ratusan. Tetapi kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bilangan tertentu.
6. Pendapat Keenam
Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qiraat tujuh.

selajengipun monggoo...

Rabu, 22 Oktober 2008

Kebenaran Ilmiah Al-Quran

Al-Quran adalah kitab petunjuk, demikian hasil yang kita peroleh dari mempelajari sejarah turunnya. Ini sesuai pula dengan penegasan Al-Quran: Petunjuk bagi manusia, keterangan mengenai petunjuk serta pemisah antara yang hak dan batil. (QS 2:185).

Jika demikian, apakah hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan? Berkaitan dengan hal ini, perselisihan pendapat para ulama sudah lama berlangsung. Dalam kitabnya Jawahir Al-Quran, Imam Al-Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim. Al-Imam Al-Syathibi (w. 1388 M), tidak sependapat dengan Al-Ghazali. Dalam kitabnya, Al-Muwafaqat, beliau --antara lain-- berpendapat bahwa para sahabat tentu lebih mengetahui Al-Quran dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan bahwa Al-Quran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.

Menurut hemat kami, membahas hubungan Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Al-Quran dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.

Membahas hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar; ilmu komputer tercantum dalam Al-Quran; tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Quran yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi "social psychology" (psikologi sosial) bukan pada sisi "history of scientific progress" (sejarah perkembangan ilmu pengetahuan). Anggaplah bahwa setiap ayat dari ke-6.226 ayat yang tercantum dalam Al-Quran (menurut perhitungan ulama Kufah)8 mengandung suatu teori ilmiah, kemudian apa hasilnya? Apakah keuntungan yang diperoleh dengan mengetahui teori-teori tersebut bila masyarakat tidak diberi "hidayah" atau petunjuk guna kemajuan ilmu pengetahuan atau menyingkirkan hal-hal yang dapat menghambatnya?

Malik bin Nabi di dalam kitabnya Intaj Al-Mustasyriqin wa Atsaruhu fi Al-Fikriy Al-Hadits, menulis: "Ilmu pengetahuan adalah sekumpulan masalah serta sekumpulan metode yang dipergunakan menuju tercapainya masalah tersebut."9

Selanjutnya beliau menerangkan: "Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya terbatas dalam bidang-bidang tersebut, tetapi bergantung pula pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorongnya lebih jauh."

Ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya dinilai dengan apa yang dipersembahkannya kepada masyarakat, tetapi juga diukur dengan wujudnya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan itu.10

Sejarah membuktikan bahwa Galileo, ketika mengungkapkan penemuannya bahwa bumi ini beredar, tidak mendapat counter dari suatu lembaga ilmiah. Tetapi, masyarakat tempat ia hidup malah memberikan tantangan kepadanya atas dasar-dasar kepercayaan dogma, sehingga Galileo pada akhirnya menjadi korban tantangan tersebut atau korban penemuannya sendiri. Hal ini adalah akibat belum terwujudnya syarat-syarat sosial dan psikologis yang disebutkan di atas. Dari segi inilah kita dapat menilai hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan.

Di dalam Al-Quran tersimpul ayat-ayat yang menganjurkan untuk mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Allah berfirman: Katakanlah hai Muhammad: "Aku hanya menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah." (QS 34:36).

Demikianlah Al-Quran telah membentuk satu iklim baru yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi kemajuannya.

Sistem Penalaran menurut Al-Quran

Salah satu faktor terpenting yang dapat menghalangi perkembangan ilmu pengetahuan terdapat dalam diri manusia sendiri. Para psikolog menerangkan bahwa tahap-tahap perkembangan kejiwaan dan alam pikiran manusia dalam menilai suatu ide umumnya melalui tiga fase. Fase pertama, menilai baik buruknya suatu ide dengan ukuran yang mempunyai hubungan dengan alam kebendaan (materi) atau berdasarkan pada pancaindera yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan primer. Fase kedua, menilai ide tersebut atas keteladanan yang diberikan oleh seseorang; dan atau tidak terlepas dari penjelmaan dalam diri pribadi seseorang. Ia menjadi baik, bila tokoh A yang melakukan atau menyatakannya baik dan jelek bila dinyatakannya jelek. Fase ketiga (fase kedewasaan), adalah suatu penilaian tentang ide didasarkan atas nilai-nilai yang terdapat pada unsur-unsur ide itu sendiri, tanpa terpengaruh oleh faktor eksternal yang menguatkan atau melemahkannya (materi dan pribadi).

Sejarah menunjukkan bahwa pada masa-masa pertama dalam pembinaan masyarakat Islam, pandangan atau penilaian segolongan orang Islam terhadap nilai al-fikrah Al-Quraniyyah (ide yang dibawa oleh Al-Quran), adalah bahwa ide-ide tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pribadi Rasulullah saw. Dalam perang Uhud misalnya, sekelompok kaum Muslim cepat-cepat meninggalkan medan pertempuran ketika mendengar berita wafatnya Rasulullah saw., yang diisukan oleh kaum musyrik. Sikap keliru ini lahir akibat pandangan mereka terhadap nilai suatu ide baru sampai pada fase kedua, atau dengan kata lain belum mencapai tingkat kedewasaannya.

Al-Quran tidak menginginkan masyarakat baru yang dibentuk dengan memandang atau menilai suatu ide apa pun coraknya hanya terbatas sampai fase kedua saja, karenanya turunlah ayat-ayat: Muhammad tiada lain kecuali seorang Rasul. Sebelum dia telah ada rasul-rasul. Apakah jika sekiranya dia mati atau terbunuh kamu berpaling ke agamamu yang dahulu? Siapa-siapa yang berpaling menjadi kafir; ia pasti tidak merugikan Tuhan sedikit pun, dan Allah akan memberikan ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur kepadaNya (QS 3:144).

Ayat tersebut walaupun dalam bentuk istifham, tetapi --sebagaimana diterangkan oleh para ulama Tafsir-- menunjukkan "istifham taubikhi istinkariy"11 yang berarti larangan menempatkan "al-fikrah Al-Qur'aniyyah" hanya sampai pada fase kedua. Ayat ini merupakan dorongan kepada masyarakat untuk lebih meningkatkan pandangan dan penilaiannya atas suatu ide ke tingkat yang lebih tinggi sampai pada fase ketiga atau fase kedewasaan. Ayat-ayat ini juga melepaskan belenggu-belenggu yang dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dalam alam pikiran manusia.

Untuk lebih menekankan kepentingan ilmu pengetahuan alam masyarakat, Al-Quran memberikan pertanyaan-pertanyaan yang merupakan ujian kepada mereka: Tanyakanlah hai Muhammad! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui? (QS 39:9).

Ayat ini menekankan kepada masyarakat betapa besar nilai ilmu pengetahuan dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat. Demikian juga ayat, Inilah kamu (wahai Ahl Al-Kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal yang kamu ketahui, maka mengapakah membantah pula dalam hal-hal yang kalian tidak ketahui? (QS 3:66).

Ayat ini merupakan kritik pedas terhadap mereka yang berbicara atau membantah suatu persoalan tanpa adanya data objektif lagi ilmiah yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Ayat-ayat semacam inilah yang kemudian membentuk iklim baru dalam masyarakat dan mewujudkan udara yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Iklim baru inilah yang kemudian menghasilkan tokoh seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Jabir Ibnu Hayyan, dan sebagainya. Ia-lah yang membantu Muhammad bin Ahmad menemukan angka nol pada tahun 976, yang akhirnya mendorong Muhammad bin Musa Al-Khawarizmiy menemukan perhitungan Aljabar. Tanpa penemuan-penemuan tersebut, Ilmu Pasti akan tetap merangkak dan meraba-raba dalam alam gelap gulita.

Mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting daripada menemukan teori ilmiah, karena tanpa wujudnya iklim ilmu pengetahuan, para ahli yang menemukan teori itu akan mengalami nasib seperti Galileo, yang menjadi korban hasil penemuannya.

Al-Quran sebagai kitab petunjuk yang memberikan petunjuk kepada manusia untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan adalah mendorong manusia seluruhnya untuk mempergunakan akal pikirannya serta menambah ilmu pengetahuannya sebisa mungkin. Kemudian juga menjadikan observasi atas alam semesta sebagai alat untuk percaya kepada yang setiap penemuan baru atau teori ilmiah, sehingga mereka dapat mencarikan dalilnya dalam Al-Quran untuk dibenarkan atau dibantahnya. Bukan saja karena tidak sejalan dengan tujuan-tujuan pokok Al-Quran tetapi juga tidak sejalan dengan ciri-ciri khas ilmu pengetahuan. Untuk menjelaskan hal ini, berikut ini kami paparkan beberapa ciri-ciri ilmu pengetahuan.

Ciri Khas Ilmu Pengetahuan

Ciri khas nyata dari ilmu pengetahuan (science) yang tidak dapat diingkari --meskipun oleh para ilmuwan-- adalah bahwa ia tidak mengenal kata "kekal". Apa yang dianggap salah di masa silam misalnya, dapat diakui kebenarannya di abad modern.

Pandangan terhadap persoalan-persoalan ilmiah silih berganti, bukan saja dalam lapangan pembahasan satu ilmu saja, tetapi terutama juga dalam teori-teori setiap cabang ilmu pengetahuan. Dahulu, misalnya, segala sesuatu diterangkan dalam konsep material (istilah-istilah kebendaan) sampai-sampai manusia pun hendak dikatagorikan dalam konsep tersebut. Sekarang ini kita dapati psikologi yang membahas mengenai jiwa, budi dan semangat, telah mengambil tempat tersendiri dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

Dahulu, persoalan-persoalan moral tidak mendapat perhatian ilmuwan, tetapi kini penggunaan senjata-senjata nuklir, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari persoalan tersebut; mereka tidak mengabaikan persoalan moral dalam penggunaan senjata nuklir yang merupakan hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan.

Teori-teori ilmiah juga silih berganti. Qawanin Al-Thabi'ah (Natural Law) yang dahulu dianggap pasti, tak mengizinkan suatu kebebasan pun. Sekarang ini ia hanya dinilai sebagai "summary of statictical averages" (ikhtisar dari rerata statistik).

Teori bumi datar yang merupakan satu hukum aksioma di suatu masa misalnya, dibatalkan oleh teori bumi bulat yang kemudian dibatalkan pula oleh teori lonjong seperti lonjongnya telur. Mungkin tidak sedikit orang yang yakin-bahwa pertimbangan-pertimbangan logika atau ilmiah --terutama menurut Ilmu Pasti-- adalah "benar", sedangkan kenyataannya belum tentu demikian.

Salah satu sebab dari kesalahan ini adalah karena sering kali titik tolak dari pemikiran manusia berdasarkan pancaindera atau perasaan umum. Perasaan umumlah yang, misalnya, menyatakan bahwa sepotong baja adalah padat, padahal sinar U memperlihatkan bahwa ia berpori.

Karenanya, tidak heran kalau Imam Al-Ghazali pada suatu masa hidupnya tidak mempercayai indera. Beliau menulis dalam kitabnya Al-Munqidz min Al-Dhalal: "Bagaimana kita dapat mempercayai pancaindera, dimana mata merupakan indera terkuat, sedangkan bila ia melihat ke satu bayangan dilihatnya berhenti tak bergerak sehingga dikatakanlah bahwa bayangan tak bergerak. Tetapi dengan pengalaman dan pandangan mata, setelah beberapa saat, diketahui bahwa bayangan tadi tak bergerak, bukan disebabkan gerakan spontan tetapi sedikit demi sedikit sehingga ia sebenarnya tak pernah berhenti; begitu juga mata memandang kepada bintang, ia melihatnya kecil bagaikan uang dinar, akan tetapi alat membuktikan bahwa bintang lebih besar daripada bumi."12

Segala undang-undang ilmiah yang diketahui hanya menyatakan saling bergantinya "psychological states" (keadaan-keadaan jiwa) yang ditentukan pada diri kita oleh sebab-sebab tertentu (mengambil sebab dari musabab atau dari ma'lul kepada 'illah). Ini menunjukkan bahwa segala undang-undang ilmiah pada hakikatnya relatif dan subjektif.

Dari sini jelaslah bahwa ilmu pengetahuan hanya melihat dan menilik; bukan menetapkan. Ia melukiskan fakta-fakta, objek-objek dan fenomena-fenomena yang dilihat dengan mata seorang yang mempunyai sifat pelupa, keliru, dan ataupun tidak mengetahui. Karenanya, jelas pulalah bahwa apa yang dikatakan orang sebagai sesuatu yang benar (kebenaran ilmiah) sebenarnya hanya merupakan satu hal yang relatif dan mengandung arti yang sangat terbatas.

Kalau demikian ini sifat dan ciri khas ilmu pengetahuan dan peraturannya, maka dapatkah kita menguatkannya dengan ayat-ayat Tuhan yang bersifat absolut, abadi dan pasti benar? Relakah kita mengubah arti ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan perubahan atau teori ilmiah yang tidak atau belum mapan itu? Tidakkah hal ini memberikan kesempatan kepada musuh-musuh Al-Quran atau bahkan kepada kaum Muslim sendiri untuk meragukan kebenaran Al-Quran, kitab akidah dan petunjuk, terutama setelah ternyata terdapat kesalahan suatu teori ilmiah yang tadinya dibenarkan oleh Al-Quran? Demikian juga mengingkari suatu teori ilmiah berdasarkan ayat-ayat Al-Quran sangat berbahaya, karena ekses yang ditimbulkannya tidak kurang bahayanya dengan apa yang timbul di Eropa ketika gereja mengingkari teori bulatnya bumi dan peredarannya mengelilingi matahari.

Perkembangan Tafsir

Perkembangan hidup manusia mempunyai pengaruh yang sangat mendalam terhadap perkembangan akal-pikirannya. Ini juga berarti mempunyai pengaruh dalam pengertian terhadap ayat-ayat Al-Quran.

Dalam abad pertama Islam, para ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Seorang pernah bertanya kepada Sayyidina Abu Bakar, apakah arti kalimat abba dalam ayat: wa fakihah wa abba. Beliau menjawab: "Di bumi apakah aku berpijak, dengan langit apakah aku berteduh bila aku mengatakan sesuatu dalam Al-Quran menurut pendapatku".

Bahkan, sebagian di antara para ulama, bila ditanya mengenai pengertian satu ayat, mereka tidak memberikan jawaban apa pun. Diriwayatkan oleh Imam Malik bahwa Said Ibn Musayyab, bila ditanya mengenai tafsir suatu ayat, beliau berkata: "Kami tidak berbicara mengenai Al-Quran sedikit pun." Demikian juga halnya dengan Sali bin 'Abdullah bin 'Umar, Al-Qasim bin Abi Bakar, Nafi', Al-Asma'i, dan lain-lain.

Pada abad-abad berikutnya, sebagian besar ulama berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat Al-Quran selama ia memiliki syarat-syarat tertentu seperti: pengetahuan bahasa yang cukup, misalnya, menguasai nahw, sharaf, balaghah, dan isytiqaq; juga Ilmu Ushuluddin, Ilmu Qira'ah, Asbab Al-Nuzul, Nasikh-Mansukh, dan lain sebagainya.

Sejarah penafsiran Al-Quran dimulai dengan menafsirkan ayat-ayatnya sesuai dengan hadis-hadis Rasulullah saw., atau pendapat para sahabat. Penafsiran demikian kemudian berkembang, sehingga dengan tidak disadari, bercampurlah hadis-hadis shahih dengan Isra'iliyat (kisah-kisah yang bersumber dari Ahli Kitab yang umumnya tidak sejalan dengan kesucian agama atau pikiran yang sehat). Hal ini mengakibatkan sebagian ulama menolak penafsiran yang menggambarkan pendapat-pendapat penulisnya, atau menyatukan pendapat-pendapat tersebut dengan hadis-hadis atau pendapat-pendapat para sahabat yang dianggap benar.

Tafsir Al- Thabari, misalnya, adalah satu kitab tafsir yang menyimpulkan hadis-hadis dan pendapat-pendapat terdahulu. Kemudian penulisnya, Al-Thabari, men-tarjih (menguatkan) salah satu pendapat di antaranya. Sedangkan Tafsir Fakhr Al-Razi (w. 606 H/1209 M) adalah satu kitab yang lebih banyak menggambarkan pendapat Fahr Al-Razi sendiri; sementara riwayat-riwayat terdahulu tidak banyak dituliskan, kecuali dalam batas-batas yang sangat sempit.

Demikianlah, dan dari masa ke masa timbullah kemudian beraneka warna corak tafsir: ada yang berdasarkan nalar penulisnya saja, ada pula berdasarkan riwayat-riwayat, ada pula yang menyatukan antara keduanya. Persoalan-persoalan yang dibahas pun bermacam-macam: ada yang hanya membahas arti dari kalimat-kalimat yang sukar saja (Tafsir Gharib), seperti Al-Zajjaj dan Al-Wahidiy; ada yang menulis kisah-kisah, seperti Al-Tsa'labiy dan Al-Khazin; ada yang memperhatikan persoalan balaghah (sastra bahasa) seperti Al-Zamakhsyari; atau persoalan ilmu pengetahuan, logika dan filsafat seperti Al-Fakhr Al-Razi; atau fiqih seperti Al-Qurthubiy; dan ada pula yang hanya merupakan "terjemahan" kalimat-kalimatnya saja seperti Tafsir Al-Jalalain.

Agaknya benar juga pandangan sementara pakar, bahwa "Sepanjang sejarah, tidak dikenal satu kitab apa pun yang telah ditafsirkan, diterangkan, dikumpulkan interpretasi dan pendapat para ahli terhadapnya dalam kitab yang berjilid-jilid seperti halnya Al-Quran."

Penafsiran ilmiah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan ilmu pengetahuan telah lama berlangsung. Tafsir Fakhr Al-Raziy, misalnya, adalah satu contoh dari penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Quran, sehingga sebagian ulama tidak menamakan kitabnya sebagai Kitab Tafsir. Karena persoalan-persoalan filsafat dan logika disinggung dengan sangat luas.

Abu Hayyan dalam tafsirnya menulis: "Al-Fakhr Al-Razi di dalam Tafsirnya mengumpulkan banyak persoalan secara luas yang tidak dibutuhkan dalam Ilmu Tafsir. Karenanya sebagian ulama berkata: 'Di dalam Tafsirnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir'."13

Kelanjutan dari penafsiran ilmiah ini adalah penafsiran yang sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Dahulu ada orang yang menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa planet hanya tujuh (sebagaimana pendapat ahli-ahli Falak ketika itu) dengan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa ada tujuh langit. Teori tujuh planet tersebut ternyata salah. Karena planet-planet yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan dalam tata surya saja berjumlah 10 planet, disamping jutaan bintang yang tampaknya memenuhi langit, kesepuluh planet itu hanya laksana setetes air dalam lautan bila dibandingkan dengan banyaknya bintang di seluruh angkasa raya.

Setiap galaksi, menurut mereka, rata-rata memiliki seratus biliun bintang, sedangkan seluruh ruang alam semesta didiami oleh berbiliun-biliun galaksi.

Jadi, yang membenarkan bahwa planet hanya tujuh berdasarkan ayat-ayat tadi, nyata-nyata telah keliru. Kekeliruan tersebut merupakan satu dosa besar bila dia memaksakan orang untuk mempercayai pendapat tersebut atas nama Al-Quran, atau dia meyakini hal tersebut sebagai satu akidah Al-Quran. Setiap Muslim wajib mempercayai segala sesuatu yang terdapat di dalam Al-Quran. Bila seseorang membenarkan satu teori ilmiah berdasarkan Al-Quran, berarti pula dia mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai teori tersebut.

Kekeliruan mereka itu serupa dengan kekeliruan sebagian cendekiawan Islam yang mengingkari teori evolusi Darwin (1804-1872) dengan beberapa ayat Al-Quran, atau mereka yang membenarkan dengan ayat-ayat lainnya. Memang, tak sedikit dari cendekiawan Islam yang mengakui kebenaran teori tersebut. Bahkan lima abad sebelum Charles Darwin, 'Abdurrahman Ibn Khaldun (1332-1406) menulis dalam kitabnya, Kitab Al-'Ibar fi Daiwani Al-Mubtada'i wa Al-Khabar (dalam mukadimah ke-6 pasal I) sebagai berikut: "Alam binatang meluas sehingga bermacam-macam golongannya dan berakhir proses kejadiannya pada masa manusia yang mempunyai pikiran dan pandangan. Manusia meningkat dari alam kera yang hanya mempunyai kecakapan dan dapat mengetahui tetapi belum sampai pada tingkat menilik dan berpikir."

Yang dimaksud dengan kera oleh beliau ialah sejenis makhluk yang --oleh para penganut evolusionisme-- disebut Anthropoides. Ibnu Khaldun dan cendekiawan-cendekiawan lainnya, ketika mengatakan atau menemukan teori tersebut, bukannya merujuk kepada Al-Quran, tetapi berdasarkan penyelidikan dan penelitian mereka. Walaupun demikian, ada sementara Muslim yang kemudian berusaha membenarkan teori evolusi dengan ayat-ayat Al-Quran seperti: Mengapakah kamu sekalian tidak memikirkan/mempercayai kebesaran Allah, sedangkan Dia telah menjadikan kamu berfase-fase (QS 71:13-14).

Fase-fase ini menurut mereka bukan sebagaimana apa yang kami pahami dan yang diterangkan oleh Al-Quran dalam surah Al-Mu'minun ayat 11-14. Tapi mereka menafsirkannya sesuai dengan paham penganut-penganut teori Darwin dalam proses kejadian manusia. Ayat, Adapun buih maka akan lenyaplah ia sebagai sesuatu yang tak bernilai, sedangkan yang berguna bagi manusia tetap tinggal di permukaan bumi (QS 13:17) dijadikan bukti kebenaran teori "struggle for life" yang menjadi salah satu landasan teori Darwin. Hemat penulis, ayat-ayat tadi, dan yang semacamnya, tidak dapat dijadikan dasar untuk menguatkan dan membenarkan teori Darwin, tetapi ini bukan berarti bahwa teori tadi salah menurut Al-Quran. 'Abbas Mahmud Al-'Aqqad menerangkan dalam bukunya Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, sebagai berikut: "Mereka yang mengingkari teori evolusi dapat mengingkarinya dari diri mereka sendiri, karena mereka tidak puas terhadap kebenaran argumentasi-argumentasinya. Tetapi mereka tidak boleh mengingkarinya berdasarkan Al-Quran Al-Karim, karena mereka tidak dapat menafsirkan kejadian asal-usul manusia dari tanah dalam satu penafsiran saja kemudian menyalahkan penafsiran-penafsiran lainnya."14

Atau apa yang ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar. "Teori Darwin tidak membatalkan --bila teori tersebut benar dan merupakan hal yang nyata-- tentang satu dasar dari dasar-dasar Islam; tidak bertentangan dengan satu ayat dari ayat-ayat Al-Quran. Saya mengenal dokter-dokter dan lainnya yang sependapat dengan Darwin. Mereka itu orang-orang mukmin dengan keimanan yang benar dan Muslim dengan keislaman sejati; mereka menunaikan sembahyang dan kewajiban-kewajiban lainnya, meninggalkan keonaran, dosa dan kekejaman yang dilarang Allah SWT sesuai dengan ajaran-ajaran agama mereka. Tetapi teori tersebut adalah ilmiah, bukan persoalan agama sedikit pun."15

Kita tidak dapat membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah dengan ayat-ayat Al-Quran; setiap ditemukan suatu teori cepat-cepat pula kita membuka lembaran-lembaran Al-Quran untuk membenarkan atau menyalahkannya, karena apabila teori yang dibenarkan itu ternyata salah atau sebaliknya, maka musuh-musuh Islam mendapat kesempatan yang sangat baik untuk menyalahkan Kitab Allah sambil mencemooh kaum Muslim. Jalan yang lebih tepat guna membantah cemoohan ialah dengan menghindarkan sebab-sebab cemoohan itu: Janganlah kamu mencerca orang-orang yang menyembah selain Allah, karena hal ini menjadikan mereka mencerca Allah dengan melampaui batas, karena kebodohan mereka (QS 6:108).

Ayat ini melarang kita mencemoohkan mereka, karena cercaan kita merupakan sebab dari cercaan mereka kepada Allah SWT. Begitu juga halnya dalam masalah Al-Quran: jangan membenarkan atau menyalahkan suatu teori dengan ayat-ayat Allah (Al-Quran) yang memang pada dasarnya tidak membahas persoalan-persoalan tersebut secara mendetil. Tidak membahas secara mendetil, karena tidak dapat diingkari bahwa ada ayat-ayat Al-Quran yang menyinggung secara sepintas lalu kebenaran-kebenaran ilmiah yang belum ditemukan atau diketahui oleh manusia di masa turunnya Al-Quran, seperti firman Allah SWT:

Apakah orang-orang kafir tidak berpikir sehingga tidak mengetahui bahwa langit dan bumi tadinya bersatu/bertaut, kemudian kami ceraikan keduanya dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air (QS 21:30).

Ayat ini menerangkan bahwa langit dan bumi, tadinya merupakan suatu gumpalan. Dan pada suatu masa yang tidak diterangkan oleh Al-Quran, gumpalan tersebut dipecahkan atau dipisah oleh Allah SWT. Hanya ini yang dimengerti dari ayat tersebut dan merupakan kewajiban setiap Muslim untuk mempercayainya. Seorang Muslim tidak dapat menyatakan bahwa ayat tersebut menguatkan suatu teori, atau lebih tepat dikatakan sebagai hipotesis tentang pembentukan matahari dan planet-planet lainnya, apa pun teori tersebut.

Setiap orang bebas untuk menyatakan pendapatnya mengenai terjadinya planet-planet tata surya. Ia boleh berkata bahwa ia berasal bola gas yang berotasi cepat, yang lama kelamaan pecah dan terpisah-pisah menjadi planet-planet kecil akibat panas yang sangat keras. Ia juga dapat menyatakan bahwa terjadinya planet sebagai akibat tabrakan antara dua matahari, atau disebabkan karena pecahnya matahari itu sendiri, dan lain-lain. Setiap orang bebas dan berhak untuk menyatakan apa yang dianggapnya benar, tetapi ia tidak berhak untuk menguatkan pendapatnya dengan ayat tersebut dengan memahaminya lebih dari apa yang tersimpul didalamnya. Karena dengan demikian ia menjadikan pendapat tersebut sebagai satu akidah dari 'aqidah Quraniyyah. Dan ia juga tidak berhak untuk menyalahkan satu teori atas nama Al-Quran kecuali bila ia membawakan satu nash yang membatalkannya.

Al-Quran adalah kitab petunjuk, demikian hasil yang kita peroleh dari mempelajari sejarah turunnya. Ini sesuai pula dengan penegasan Al-Quran: Petunjuk bagi manusia, keterangan mengenai petunjuk serta pemisah antara yang hak dan batil. (QS 2:185).

Jika demikian, apakah hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan? Berkaitan dengan hal ini, perselisihan pendapat para ulama sudah lama berlangsung. Dalam kitabnya Jawahir Al-Quran, Imam Al-Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari Al-Quran Al-Karim. Al-Imam Al-Syathibi (w. 1388 M), tidak sependapat dengan Al-Ghazali. Dalam kitabnya, Al-Muwafaqat, beliau --antara lain-- berpendapat bahwa para sahabat tentu lebih mengetahui Al-Quran dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan bahwa Al-Quran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.

Menurut hemat kami, membahas hubungan Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian Al-Quran dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.

Membahas hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan bukan dengan melihat, misalnya, adakah teori relativitas atau bahasan tentang angkasa luar; ilmu komputer tercantum dalam Al-Quran; tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau sebaliknya, serta adakah satu ayat Al-Quran yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan? Dengan kata lain, meletakkannya pada sisi "social psychology" (psikologi sosial) bukan pada sisi "history of scientific progress" (sejarah perkembangan ilmu pengetahuan). Anggaplah bahwa setiap ayat dari ke-6.226 ayat yang tercantum dalam Al-Quran (menurut perhitungan ulama Kufah)8 mengandung suatu teori ilmiah, kemudian apa hasilnya? Apakah keuntungan yang diperoleh dengan mengetahui teori-teori tersebut bila masyarakat tidak diberi "hidayah" atau petunjuk guna kemajuan ilmu pengetahuan atau menyingkirkan hal-hal yang dapat menghambatnya?

Malik bin Nabi di dalam kitabnya Intaj Al-Mustasyriqin wa Atsaruhu fi Al-Fikriy Al-Hadits, menulis: "Ilmu pengetahuan adalah sekumpulan masalah serta sekumpulan metode yang dipergunakan menuju tercapainya masalah tersebut."9

Selanjutnya beliau menerangkan: "Kemajuan ilmu pengetahuan bukan hanya terbatas dalam bidang-bidang tersebut, tetapi bergantung pula pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang mempunyai pengaruh negatif dan positif sehingga dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan atau mendorongnya lebih jauh."

Ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya dinilai dengan apa yang dipersembahkannya kepada masyarakat, tetapi juga diukur dengan wujudnya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan itu.10

Sejarah membuktikan bahwa Galileo, ketika mengungkapkan penemuannya bahwa bumi ini beredar, tidak mendapat counter dari suatu lembaga ilmiah. Tetapi, masyarakat tempat ia hidup malah memberikan tantangan kepadanya atas dasar-dasar kepercayaan dogma, sehingga Galileo pada akhirnya menjadi korban tantangan tersebut atau korban penemuannya sendiri. Hal ini adalah akibat belum terwujudnya syarat-syarat sosial dan psikologis yang disebutkan di atas. Dari segi inilah kita dapat menilai hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan.

Di dalam Al-Quran tersimpul ayat-ayat yang menganjurkan untuk mempergunakan akal pikiran dalam mencapai hasil. Allah berfirman: Katakanlah hai Muhammad: "Aku hanya menganjurkan kepadanya satu hal saja, yaitu berdirilah karena Allah berdua-dua atau bersendiri-sendiri, kemudian berpikirlah." (QS 34:36).

Demikianlah Al-Quran telah membentuk satu iklim baru yang dapat mengembangkan akal pikiran manusia, serta menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi kemajuannya.

Sistem Penalaran menurut Al-Quran

Salah satu faktor terpenting yang dapat menghalangi perkembangan ilmu pengetahuan terdapat dalam diri manusia sendiri. Para psikolog menerangkan bahwa tahap-tahap perkembangan kejiwaan dan alam pikiran manusia dalam menilai suatu ide umumnya melalui tiga fase. Fase pertama, menilai baik buruknya suatu ide dengan ukuran yang mempunyai hubungan dengan alam kebendaan (materi) atau berdasarkan pada pancaindera yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan primer. Fase kedua, menilai ide tersebut atas keteladanan yang diberikan oleh seseorang; dan atau tidak terlepas dari penjelmaan dalam diri pribadi seseorang. Ia menjadi baik, bila tokoh A yang melakukan atau menyatakannya baik dan jelek bila dinyatakannya jelek. Fase ketiga (fase kedewasaan), adalah suatu penilaian tentang ide didasarkan atas nilai-nilai yang terdapat pada unsur-unsur ide itu sendiri, tanpa terpengaruh oleh faktor eksternal yang menguatkan atau melemahkannya (materi dan pribadi).

Sejarah menunjukkan bahwa pada masa-masa pertama dalam pembinaan masyarakat Islam, pandangan atau penilaian segolongan orang Islam terhadap nilai al-fikrah Al-Quraniyyah (ide yang dibawa oleh Al-Quran), adalah bahwa ide-ide tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pribadi Rasulullah saw. Dalam perang Uhud misalnya, sekelompok kaum Muslim cepat-cepat meninggalkan medan pertempuran ketika mendengar berita wafatnya Rasulullah saw., yang diisukan oleh kaum musyrik. Sikap keliru ini lahir akibat pandangan mereka terhadap nilai suatu ide baru sampai pada fase kedua, atau dengan kata lain belum mencapai tingkat kedewasaannya.

Al-Quran tidak menginginkan masyarakat baru yang dibentuk dengan memandang atau menilai suatu ide apa pun coraknya hanya terbatas sampai fase kedua saja, karenanya turunlah ayat-ayat: Muhammad tiada lain kecuali seorang Rasul. Sebelum dia telah ada rasul-rasul. Apakah jika sekiranya dia mati atau terbunuh kamu berpaling ke agamamu yang dahulu? Siapa-siapa yang berpaling menjadi kafir; ia pasti tidak merugikan Tuhan sedikit pun, dan Allah akan memberikan ganjaran kepada orang-orang yang bersyukur kepadaNya (QS 3:144).

Ayat tersebut walaupun dalam bentuk istifham, tetapi --sebagaimana diterangkan oleh para ulama Tafsir-- menunjukkan "istifham taubikhi istinkariy"11 yang berarti larangan menempatkan "al-fikrah Al-Qur'aniyyah" hanya sampai pada fase kedua. Ayat ini merupakan dorongan kepada masyarakat untuk lebih meningkatkan pandangan dan penilaiannya atas suatu ide ke tingkat yang lebih tinggi sampai pada fase ketiga atau fase kedewasaan. Ayat-ayat ini juga melepaskan belenggu-belenggu yang dapat menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dalam alam pikiran manusia.

Untuk lebih menekankan kepentingan ilmu pengetahuan alam masyarakat, Al-Quran memberikan pertanyaan-pertanyaan yang merupakan ujian kepada mereka: Tanyakanlah hai Muhammad! Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan mereka yang tidak mengetahui? (QS 39:9).

Ayat ini menekankan kepada masyarakat betapa besar nilai ilmu pengetahuan dan kedudukan cendekiawan dalam masyarakat. Demikian juga ayat, Inilah kamu (wahai Ahl Al-Kitab), kamu ini membantah tentang hal-hal yang kamu ketahui, maka mengapakah membantah pula dalam hal-hal yang kalian tidak ketahui? (QS 3:66).

Ayat ini merupakan kritik pedas terhadap mereka yang berbicara atau membantah suatu persoalan tanpa adanya data objektif lagi ilmiah yang berkaitan dengan persoalan tersebut. Ayat-ayat semacam inilah yang kemudian membentuk iklim baru dalam masyarakat dan mewujudkan udara yang dapat mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Iklim baru inilah yang kemudian menghasilkan tokoh seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Jabir Ibnu Hayyan, dan sebagainya. Ia-lah yang membantu Muhammad bin Ahmad menemukan angka nol pada tahun 976, yang akhirnya mendorong Muhammad bin Musa Al-Khawarizmiy menemukan perhitungan Aljabar. Tanpa penemuan-penemuan tersebut, Ilmu Pasti akan tetap merangkak dan meraba-raba dalam alam gelap gulita.

Mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting daripada menemukan teori ilmiah, karena tanpa wujudnya iklim ilmu pengetahuan, para ahli yang menemukan teori itu akan mengalami nasib seperti Galileo, yang menjadi korban hasil penemuannya.

Al-Quran sebagai kitab petunjuk yang memberikan petunjuk kepada manusia untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan adalah mendorong manusia seluruhnya untuk mempergunakan akal pikirannya serta menambah ilmu pengetahuannya sebisa mungkin. Kemudian juga menjadikan observasi atas alam semesta sebagai alat untuk percaya kepada yang setiap penemuan baru atau teori ilmiah, sehingga mereka dapat mencarikan dalilnya dalam Al-Quran untuk dibenarkan atau dibantahnya. Bukan saja karena tidak sejalan dengan tujuan-tujuan pokok Al-Quran tetapi juga tidak sejalan dengan ciri-ciri khas ilmu pengetahuan. Untuk menjelaskan hal ini, berikut ini kami paparkan beberapa ciri-ciri ilmu pengetahuan.

Ciri Khas Ilmu Pengetahuan

Ciri khas nyata dari ilmu pengetahuan (science) yang tidak dapat diingkari --meskipun oleh para ilmuwan-- adalah bahwa ia tidak mengenal kata "kekal". Apa yang dianggap salah di masa silam misalnya, dapat diakui kebenarannya di abad modern.

Pandangan terhadap persoalan-persoalan ilmiah silih berganti, bukan saja dalam lapangan pembahasan satu ilmu saja, tetapi terutama juga dalam teori-teori setiap cabang ilmu pengetahuan. Dahulu, misalnya, segala sesuatu diterangkan dalam konsep material (istilah-istilah kebendaan) sampai-sampai manusia pun hendak dikatagorikan dalam konsep tersebut. Sekarang ini kita dapati psikologi yang membahas mengenai jiwa, budi dan semangat, telah mengambil tempat tersendiri dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

Dahulu, persoalan-persoalan moral tidak mendapat perhatian ilmuwan, tetapi kini penggunaan senjata-senjata nuklir, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari persoalan tersebut; mereka tidak mengabaikan persoalan moral dalam penggunaan senjata nuklir yang merupakan hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan.

Teori-teori ilmiah juga silih berganti. Qawanin Al-Thabi'ah (Natural Law) yang dahulu dianggap pasti, tak mengizinkan suatu kebebasan pun. Sekarang ini ia hanya dinilai sebagai "summary of statictical averages" (ikhtisar dari rerata statistik).

Teori bumi datar yang merupakan satu hukum aksioma di suatu masa misalnya, dibatalkan oleh teori bumi bulat yang kemudian dibatalkan pula oleh teori lonjong seperti lonjongnya telur. Mungkin tidak sedikit orang yang yakin-bahwa pertimbangan-pertimbangan logika atau ilmiah --terutama menurut Ilmu Pasti-- adalah "benar", sedangkan kenyataannya belum tentu demikian.

Salah satu sebab dari kesalahan ini adalah karena sering kali titik tolak dari pemikiran manusia berdasarkan pancaindera atau perasaan umum. Perasaan umumlah yang, misalnya, menyatakan bahwa sepotong baja adalah padat, padahal sinar U memperlihatkan bahwa ia berpori.

Karenanya, tidak heran kalau Imam Al-Ghazali pada suatu masa hidupnya tidak mempercayai indera. Beliau menulis dalam kitabnya Al-Munqidz min Al-Dhalal: "Bagaimana kita dapat mempercayai pancaindera, dimana mata merupakan indera terkuat, sedangkan bila ia melihat ke satu bayangan dilihatnya berhenti tak bergerak sehingga dikatakanlah bahwa bayangan tak bergerak. Tetapi dengan pengalaman dan pandangan mata, setelah beberapa saat, diketahui bahwa bayangan tadi tak bergerak, bukan disebabkan gerakan spontan tetapi sedikit demi sedikit sehingga ia sebenarnya tak pernah berhenti; begitu juga mata memandang kepada bintang, ia melihatnya kecil bagaikan uang dinar, akan tetapi alat membuktikan bahwa bintang lebih besar daripada bumi."12

Segala undang-undang ilmiah yang diketahui hanya menyatakan saling bergantinya "psychological states" (keadaan-keadaan jiwa) yang ditentukan pada diri kita oleh sebab-sebab tertentu (mengambil sebab dari musabab atau dari ma'lul kepada 'illah). Ini menunjukkan bahwa segala undang-undang ilmiah pada hakikatnya relatif dan subjektif.

Dari sini jelaslah bahwa ilmu pengetahuan hanya melihat dan menilik; bukan menetapkan. Ia melukiskan fakta-fakta, objek-objek dan fenomena-fenomena yang dilihat dengan mata seorang yang mempunyai sifat pelupa, keliru, dan ataupun tidak mengetahui. Karenanya, jelas pulalah bahwa apa yang dikatakan orang sebagai sesuatu yang benar (kebenaran ilmiah) sebenarnya hanya merupakan satu hal yang relatif dan mengandung arti yang sangat terbatas.

Kalau demikian ini sifat dan ciri khas ilmu pengetahuan dan peraturannya, maka dapatkah kita menguatkannya dengan ayat-ayat Tuhan yang bersifat absolut, abadi dan pasti benar? Relakah kita mengubah arti ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan perubahan atau teori ilmiah yang tidak atau belum mapan itu? Tidakkah hal ini memberikan kesempatan kepada musuh-musuh Al-Quran atau bahkan kepada kaum Muslim sendiri untuk meragukan kebenaran Al-Quran, kitab akidah dan petunjuk, terutama setelah ternyata terdapat kesalahan suatu teori ilmiah yang tadinya dibenarkan oleh Al-Quran? Demikian juga mengingkari suatu teori ilmiah berdasarkan ayat-ayat Al-Quran sangat berbahaya, karena ekses yang ditimbulkannya tidak kurang bahayanya dengan apa yang timbul di Eropa ketika gereja mengingkari teori bulatnya bumi dan peredarannya mengelilingi matahari.

Perkembangan Tafsir

Perkembangan hidup manusia mempunyai pengaruh yang sangat mendalam terhadap perkembangan akal-pikirannya. Ini juga berarti mempunyai pengaruh dalam pengertian terhadap ayat-ayat Al-Quran.

Dalam abad pertama Islam, para ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Seorang pernah bertanya kepada Sayyidina Abu Bakar, apakah arti kalimat abba dalam ayat: wa fakihah wa abba. Beliau menjawab: "Di bumi apakah aku berpijak, dengan langit apakah aku berteduh bila aku mengatakan sesuatu dalam Al-Quran menurut pendapatku".

Bahkan, sebagian di antara para ulama, bila ditanya mengenai pengertian satu ayat, mereka tidak memberikan jawaban apa pun. Diriwayatkan oleh Imam Malik bahwa Said Ibn Musayyab, bila ditanya mengenai tafsir suatu ayat, beliau berkata: "Kami tidak berbicara mengenai Al-Quran sedikit pun." Demikian juga halnya dengan Sali bin 'Abdullah bin 'Umar, Al-Qasim bin Abi Bakar, Nafi', Al-Asma'i, dan lain-lain.

Pada abad-abad berikutnya, sebagian besar ulama berpendapat bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat Al-Quran selama ia memiliki syarat-syarat tertentu seperti: pengetahuan bahasa yang cukup, misalnya, menguasai nahw, sharaf, balaghah, dan isytiqaq; juga Ilmu Ushuluddin, Ilmu Qira'ah, Asbab Al-Nuzul, Nasikh-Mansukh, dan lain sebagainya.

Sejarah penafsiran Al-Quran dimulai dengan menafsirkan ayat-ayatnya sesuai dengan hadis-hadis Rasulullah saw., atau pendapat para sahabat. Penafsiran demikian kemudian berkembang, sehingga dengan tidak disadari, bercampurlah hadis-hadis shahih dengan Isra'iliyat (kisah-kisah yang bersumber dari Ahli Kitab yang umumnya tidak sejalan dengan kesucian agama atau pikiran yang sehat). Hal ini mengakibatkan sebagian ulama menolak penafsiran yang menggambarkan pendapat-pendapat penulisnya, atau menyatukan pendapat-pendapat tersebut dengan hadis-hadis atau pendapat-pendapat para sahabat yang dianggap benar.

Tafsir Al- Thabari, misalnya, adalah satu kitab tafsir yang menyimpulkan hadis-hadis dan pendapat-pendapat terdahulu. Kemudian penulisnya, Al-Thabari, men-tarjih (menguatkan) salah satu pendapat di antaranya. Sedangkan Tafsir Fakhr Al-Razi (w. 606 H/1209 M) adalah satu kitab yang lebih banyak menggambarkan pendapat Fahr Al-Razi sendiri; sementara riwayat-riwayat terdahulu tidak banyak dituliskan, kecuali dalam batas-batas yang sangat sempit.

Demikianlah, dan dari masa ke masa timbullah kemudian beraneka warna corak tafsir: ada yang berdasarkan nalar penulisnya saja, ada pula berdasarkan riwayat-riwayat, ada pula yang menyatukan antara keduanya. Persoalan-persoalan yang dibahas pun bermacam-macam: ada yang hanya membahas arti dari kalimat-kalimat yang sukar saja (Tafsir Gharib), seperti Al-Zajjaj dan Al-Wahidiy; ada yang menulis kisah-kisah, seperti Al-Tsa'labiy dan Al-Khazin; ada yang memperhatikan persoalan balaghah (sastra bahasa) seperti Al-Zamakhsyari; atau persoalan ilmu pengetahuan, logika dan filsafat seperti Al-Fakhr Al-Razi; atau fiqih seperti Al-Qurthubiy; dan ada pula yang hanya merupakan "terjemahan" kalimat-kalimatnya saja seperti Tafsir Al-Jalalain.

Agaknya benar juga pandangan sementara pakar, bahwa "Sepanjang sejarah, tidak dikenal satu kitab apa pun yang telah ditafsirkan, diterangkan, dikumpulkan interpretasi dan pendapat para ahli terhadapnya dalam kitab yang berjilid-jilid seperti halnya Al-Quran."

Penafsiran ilmiah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan ilmu pengetahuan telah lama berlangsung. Tafsir Fakhr Al-Raziy, misalnya, adalah satu contoh dari penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Quran, sehingga sebagian ulama tidak menamakan kitabnya sebagai Kitab Tafsir. Karena persoalan-persoalan filsafat dan logika disinggung dengan sangat luas.

Abu Hayyan dalam tafsirnya menulis: "Al-Fakhr Al-Razi di dalam Tafsirnya mengumpulkan banyak persoalan secara luas yang tidak dibutuhkan dalam Ilmu Tafsir. Karenanya sebagian ulama berkata: 'Di dalam Tafsirnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir'."13

Kelanjutan dari penafsiran ilmiah ini adalah penafsiran yang sesuai dengan teori-teori ilmiah atau penemuan-penemuan baru. Dahulu ada orang yang menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa planet hanya tujuh (sebagaimana pendapat ahli-ahli Falak ketika itu) dengan ayat-ayat yang menunjukkan bahwa ada tujuh langit. Teori tujuh planet tersebut ternyata salah. Karena planet-planet yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan dalam tata surya saja berjumlah 10 planet, disamping jutaan bintang yang tampaknya memenuhi langit, kesepuluh planet itu hanya laksana setetes air dalam lautan bila dibandingkan dengan banyaknya bintang di seluruh angkasa raya.

Setiap galaksi, menurut mereka, rata-rata memiliki seratus biliun bintang, sedangkan seluruh ruang alam semesta didiami oleh berbiliun-biliun galaksi.

Jadi, yang membenarkan bahwa planet hanya tujuh berdasarkan ayat-ayat tadi, nyata-nyata telah keliru. Kekeliruan tersebut merupakan satu dosa besar bila dia memaksakan orang untuk mempercayai pendapat tersebut atas nama Al-Quran, atau dia meyakini hal tersebut sebagai satu akidah Al-Quran. Setiap Muslim wajib mempercayai segala sesuatu yang terdapat di dalam Al-Quran. Bila seseorang membenarkan satu teori ilmiah berdasarkan Al-Quran, berarti pula dia mewajibkan setiap Muslim untuk mempercayai teori tersebut.

Kekeliruan mereka itu serupa dengan kekeliruan sebagian cendekiawan Islam yang mengingkari teori evolusi Darwin (1804-1872) dengan beberapa ayat Al-Quran, atau mereka yang membenarkan dengan ayat-ayat lainnya. Memang, tak sedikit dari cendekiawan Islam yang mengakui kebenaran teori tersebut. Bahkan lima abad sebelum Charles Darwin, 'Abdurrahman Ibn Khaldun (1332-1406) menulis dalam kitabnya, Kitab Al-'Ibar fi Daiwani Al-Mubtada'i wa Al-Khabar (dalam mukadimah ke-6 pasal I) sebagai berikut: "Alam binatang meluas sehingga bermacam-macam golongannya dan berakhir proses kejadiannya pada masa manusia yang mempunyai pikiran dan pandangan. Manusia meningkat dari alam kera yang hanya mempunyai kecakapan dan dapat mengetahui tetapi belum sampai pada tingkat menilik dan berpikir."

Yang dimaksud dengan kera oleh beliau ialah sejenis makhluk yang --oleh para penganut evolusionisme-- disebut Anthropoides. Ibnu Khaldun dan cendekiawan-cendekiawan lainnya, ketika mengatakan atau menemukan teori tersebut, bukannya merujuk kepada Al-Quran, tetapi berdasarkan penyelidikan dan penelitian mereka. Walaupun demikian, ada sementara Muslim yang kemudian berusaha membenarkan teori evolusi dengan ayat-ayat Al-Quran seperti: Mengapakah kamu sekalian tidak memikirkan/mempercayai kebesaran Allah, sedangkan Dia telah menjadikan kamu berfase-fase (QS 71:13-14).

Fase-fase ini menurut mereka bukan sebagaimana apa yang kami pahami dan yang diterangkan oleh Al-Quran dalam surah Al-Mu'minun ayat 11-14. Tapi mereka menafsirkannya sesuai dengan paham penganut-penganut teori Darwin dalam proses kejadian manusia. Ayat, Adapun buih maka akan lenyaplah ia sebagai sesuatu yang tak bernilai, sedangkan yang berguna bagi manusia tetap tinggal di permukaan bumi (QS 13:17) dijadikan bukti kebenaran teori "struggle for life" yang menjadi salah satu landasan teori Darwin. Hemat penulis, ayat-ayat tadi, dan yang semacamnya, tidak dapat dijadikan dasar untuk menguatkan dan membenarkan teori Darwin, tetapi ini bukan berarti bahwa teori tadi salah menurut Al-Quran. 'Abbas Mahmud Al-'Aqqad menerangkan dalam bukunya Al-Falsafah Al-Qur'aniyyah, sebagai berikut: "Mereka yang mengingkari teori evolusi dapat mengingkarinya dari diri mereka sendiri, karena mereka tidak puas terhadap kebenaran argumentasi-argumentasinya. Tetapi mereka tidak boleh mengingkarinya berdasarkan Al-Quran Al-Karim, karena mereka tidak dapat menafsirkan kejadian asal-usul manusia dari tanah dalam satu penafsiran saja kemudian menyalahkan penafsiran-penafsiran lainnya."14

Atau apa yang ditulis oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar. "Teori Darwin tidak membatalkan --bila teori tersebut benar dan merupakan hal yang nyata-- tentang satu dasar dari dasar-dasar Islam; tidak bertentangan dengan satu ayat dari ayat-ayat Al-Quran. Saya mengenal dokter-dokter dan lainnya yang sependapat dengan Darwin. Mereka itu orang-orang mukmin dengan keimanan yang benar dan Muslim dengan keislaman sejati; mereka menunaikan sembahyang dan kewajiban-kewajiban lainnya, meninggalkan keonaran, dosa dan kekejaman yang dilarang Allah SWT sesuai dengan ajaran-ajaran agama mereka. Tetapi teori tersebut adalah ilmiah, bukan persoalan agama sedikit pun."15

Kita tidak dapat membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah dengan ayat-ayat Al-Quran; setiap ditemukan suatu teori cepat-cepat pula kita membuka lembaran-lembaran Al-Quran untuk membenarkan atau menyalahkannya, karena apabila teori yang dibenarkan itu ternyata salah atau sebaliknya, maka musuh-musuh Islam mendapat kesempatan yang sangat baik untuk menyalahkan Kitab Allah sambil mencemooh kaum Muslim. Jalan yang lebih tepat guna membantah cemoohan ialah dengan menghindarkan sebab-sebab cemoohan itu: Janganlah kamu mencerca orang-orang yang menyembah selain Allah, karena hal ini menjadikan mereka mencerca Allah dengan melampaui batas, karena kebodohan mereka (QS 6:108).

Ayat ini melarang kita mencemoohkan mereka, karena cercaan kita merupakan sebab dari cercaan mereka kepada Allah SWT. Begitu juga halnya dalam masalah Al-Quran: jangan membenarkan atau menyalahkan suatu teori dengan ayat-ayat Allah (Al-Quran) yang memang pada dasarnya tidak membahas persoalan-persoalan tersebut secara mendetil. Tidak membahas secara mendetil, karena tidak dapat diingkari bahwa ada ayat-ayat Al-Quran yang menyinggung secara sepintas lalu kebenaran-kebenaran ilmiah yang belum ditemukan atau diketahui oleh manusia di masa turunnya Al-Quran, seperti firman Allah SWT:

Apakah orang-orang kafir tidak berpikir sehingga tidak mengetahui bahwa langit dan bumi tadinya bersatu/bertaut, kemudian kami ceraikan keduanya dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup dari air (QS 21:30).

Ayat ini menerangkan bahwa langit dan bumi, tadinya merupakan suatu gumpalan. Dan pada suatu masa yang tidak diterangkan oleh Al-Quran, gumpalan tersebut dipecahkan atau dipisah oleh Allah SWT. Hanya ini yang dimengerti dari ayat tersebut dan merupakan kewajiban setiap Muslim untuk mempercayainya. Seorang Muslim tidak dapat menyatakan bahwa ayat tersebut menguatkan suatu teori, atau lebih tepat dikatakan sebagai hipotesis tentang pembentukan matahari dan planet-planet lainnya, apa pun teori tersebut.

Setiap orang bebas untuk menyatakan pendapatnya mengenai terjadinya planet-planet tata surya. Ia boleh berkata bahwa ia berasal bola gas yang berotasi cepat, yang lama kelamaan pecah dan terpisah-pisah menjadi planet-planet kecil akibat panas yang sangat keras. Ia juga dapat menyatakan bahwa terjadinya planet sebagai akibat tabrakan antara dua matahari, atau disebabkan karena pecahnya matahari itu sendiri, dan lain-lain. Setiap orang bebas dan berhak untuk menyatakan apa yang dianggapnya benar, tetapi ia tidak berhak untuk menguatkan pendapatnya dengan ayat tersebut dengan memahaminya lebih dari apa yang tersimpul didalamnya. Karena dengan demikian ia menjadikan pendapat tersebut sebagai satu akidah dari 'aqidah Quraniyyah. Dan ia juga tidak berhak untuk menyalahkan satu teori atas nama Al-Quran kecuali bila ia membawakan satu nash yang membatalkannya.

selajengipun monggoo...

Sejarah Turunnya dan Tujuan Pokok Al-Quran

Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta kaum Muslim di seluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman, Sesungguhnya Al-Quran ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya (QS, 17:9).

Al-Quran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasul saw., untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu: Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir (QS 16:44).

Disamping keterangan yang diberikan oleh Rasulullah saw., Allah memerintahkan pula kepada umat manusia seluruhnya agar memperhatikan dan mempelajari Al-Quran: Tidaklah mereka memperhatikan isi Al-Quran, bahkan ataukah hati mereka tertutup (QS 47:24).

Mempelajari Al-Quran adalah kewajiban. Berikut ini beberapa prinsip dasar untuk memahaminya, khusus dari segi hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan. Atau, dengan kata lain, mengenai "memahami Al-Quran dalam Hubungannya dengan Ilmu Pengetahuan."( Persoalan ini sangat penting, terutama pada masa-masa sekarang ini, dimana perkembangan ilmu pengetahuan demikian pesat dan meliputi seluruh aspek kehidupan.

Kekaburan mengenai hal ini dapat menimbulkan ekses-ekses yang mempengaruhi perkembangan pemikiran kita dewasa ini dan generasi-generasi yang akan datang. Dalam bukunya, Science and the Modern World, A.N. Whitehead menulis: "Bila kita menyadari betapa pentingnya agama bagi manusia dan betapa pentingnya ilmu pengetahuan, maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa sejarah kita yang akan datang bergantung pada putusan generasi sekarang mengenai hubungan antara keduanya."6

Tulisan Whithead ini berdasarkan apa yang terjadi di Eropa pada abad ke-18, yang ketika itu, gereja/pendeta di satu pihak dan para ilmuwan di pihak lain, tidak dapat mencapai kata sepakat tentang hubungan antara Kitab Suci dan ilmu pengetahuan; tetapi agama yang dimaksudkannya dapat mencakup segenap keyakinan yang dianut manusia.

Demikian pula halnya bagi umat Islam, pengertian kita terhadap hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan akan memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap perkembangan agama dan sejarah perkembangan manusia pada generasi-generasi yang akan datang.

Periode Turunnya Al-Quran

Al-Quran Al-Karim yang terdiri dari 114 surah dan susunannya ditentukan oleh Allah SWT. dengan cara tawqifi, tidak menggunakan metode sebagaimana metode-metode penyusunan buku-buku ilmiah. Buku-buku ilmiah yang membahas satu masalah, selalu menggunakan satu metode tertentu dan dibagi dalam bab-bab dan pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat di dalam Al-Quran Al-Karim, yang di dalamnya banyak persoalan induk silih-berganti diterangkan.

Persoalan akidah terkadang bergandengan dengan persoalan hukum dan kritik; sejarah umat-umat yang lalu disatukan dengan nasihat, ultimatum, dorongan atau tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Terkadang pula, ada suatu persoalan atau hukum yang sedang diterangkan tiba-tiba timbul persoalan lain yang pada pandangan pertama tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, apa yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 216-221, yang mengatur hukum perang dalam asyhur al-hurum berurutan dengan hukum minuman keras, perjudian, persoalan anak yatim, dan perkawinan dengan orang-orang musyrik.

Yang demikian itu dimaksudkan agar memberikan kesan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran dan hukum-hukum yang tercakup didalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa ada pemisahan antara satu dengan yang lainnya. Dalam menerangkan masalah-masalah filsafat dan metafisika, Al-Quran tidak menggunakan istilah filsafat dan logika. Juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Yang demikian ini membuktikan bahwa Al-Quran tidak dapat dipersamakan dengan kitab-kitab yang dikenal manusia.

Tujuan Al-Quran juga berbeda dengan tujuan kitab-kitab ilmiah. Untuk memahaminya, terlebih dahulu harus diketahui periode turunnya Al-Quran. Dengan mengetahui periode-periode tersebut, tujuan-tujuan Al-Quran akan lebih jelas.

Para ulama 'Ulum Al-Quran membagi sejarah turunnya Al-Quran dalam dua periode: (1) Periode sebelum hijrah; dan (2) Periode sesudah hijrah. Ayat-ayat yang turun pada periode pertama dinamai ayat-ayat Makkiyyah, dan ayat-ayat yang turun pada periode kedua dinamai ayat-ayat Madaniyyah. Tetapi, di sini, akan dibagi sejarah turunnya Al-Quran dalam tiga periode, meskipun pada hakikatnya periode pertama dan kedua dalam pembagian tersebut adalah kumpulan dari ayat-ayat Makkiyah, dan periode ketiga adalah ayat-ayat Madaniyyah. Pembagian demikian untuk lebih menjelaskan tujuan-tujuan pokok Al-Quran.

Periode Pertama

Diketahui bahwa Muhammad saw., pada awal turunnya wahyu pertama (iqra'), belum dilantik menjadi Rasul. Dengan wahyu pertama itu, beliau baru merupakan seorang nabi yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan apa yang diterima. Baru setelah turun wahyu kedualah beliau ditugaskan untuk menyampaikan wahyu-wahyu yang diterimanya, dengan adanya firman Allah: "Wahai yang berselimut, bangkit dan berilah peringatan" (QS 74:1-2).

Kemudian, setelah itu, kandungan wahyu Ilahi berkisar dalam tiga hal. Pertama, pendidikan bagi Rasulullah saw., dalam membentuk kepribadiannya. Perhatikan firman-Nya: Wahai orang yang berselimut, bangunlah dan sampaikanlah. Dan Tuhanmu agungkanlah. Bersihkanlah pakaianmu. Tinggalkanlah kotoran (syirik). Janganlah memberikan sesuatu dengan mengharap menerima lebih banyak darinya, dan sabarlah engkau melaksanakan perintah-perintah Tuhanmu (QS 74:1-7).

Dalam wahyu ketiga terdapat pula bimbingan untuknya: Wahai orang yang berselimut, bangkitlah, shalatlah di malam hari kecuali sedikit darinya, yaitu separuh malam, kuranq sedikit dari itu atau lebih, dan bacalah Al-Quran dengan tartil (QS 73:1-4).

Perintah ini disebabkan karena Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu wahyu yang sangat berat (QS 73:5).

Ada lagi ayat-ayat lain, umpamanya: Berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat. Rendahkanlah dirimu, janganlah bersifat sombong kepada orang-orang yang beriman yang mengikutimu. Apabila mereka (keluargamu) enggan mengikutimu, katakanlah: aku berlepas dari apa yang kalian kerjakan (QS 26:214-216).

Demikian ayat-ayat yang merupakan bimbingan bagi beliau demi suksesnya dakwah.

Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan af'al Allah, misalnya surah Al-A'la (surah ketujuh yang diturunkan) atau surah Al-Ikhlash, yang menurut hadis Rasulullah "sebanding dengan sepertiga Al-Quran", karena yang mengetahuinya dengan sebenarnya akan mengetahui pula persoalan-persoalan tauhid dan tanzih (penyucian) Allah SWT.

Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiah, serta bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat jahiliah ketika itu. Ini dapat dibaca, misalnya, dalam surah Al-Takatsur, satu surah yang mengecam mereka yang menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma'un yang menerangkan kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim serta pandangan agama mengenai hidup bergotong-royong.

Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan bermacam-macam reaksi di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksi-reaksi tersebut nyata dalam tiga hal pokok:

  1. Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran-ajaran Al-Quran.
  2. Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al-Quran, karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang (QS 43:22), dan atau karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan: "Kalau sekiranya Bani Hasyim memperoleh kemuliaan nubuwwah, kemuliaan apa lagi yang tinggal untuk kami."
  3. Dakwah Al-Quran mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah sekitarnya.

Periode Kedua

Periode kedua dari sejarah turunnya Al-Quran berlangsung selama 8-9 tahun, dimana terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam dan jahiliah. Gerakan oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara dan sistem untuk menghalangi kemajuan dakwah Islamiah.

Dimulai dari fitnah, intimidasi dan penganiayaan, yang mengakibatkan para penganut ajaran Al-Quran ketika itu terpaksa berhijrah ke Habsyah dan para akhirnya mereka semua --termasuk Rasulullah saw.-- berhijrah ke Madinah.

Pada masa tersebut, ayat-ayat Al-Quran, di satu pihak, silih berganti turun menerangkan kewajiban-kewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika itu, seperti: Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu (agama) dengan hikmah dan tuntunan yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya (QS 16:125).

Dan, di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman yang pedas terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran, seperti: Bila mereka berpaling maka katakanlah wahai Muhammad: "Aku pertakuti kamu sekalian dengan siksaan, seperti siksaan yang menimpa kaum 'Ad dan Tsamud" (QS 41:13).

Selain itu, turun juga ayat-ayat yang mengandung argumentasi-argumentasi mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat berdasarkan tanda-tanda yang dapat mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti: Manusia memberikan perumpamaan bagi kami dan lupa akan kejadiannya, mereka berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah lapuk dan hancur?" Katakanlah, wahai Muhammad: "Yang menghidupkannya ialah Tuhan yang menjadikan ia pada mulanya, dan yang Maha Mengetahui semua kejadian. Dia yang menjadikan untukmu, wahai manusia, api dari kayu yang hijau (basah) lalu dengannya kamu sekalian membakar." Tidaklah yang menciptakan langit dan bumi sanggup untuk menciptakan yang serupa itu? Sesungguhnya Ia Maha Pencipta dan Maha Mengetahui. Sesungguhnya bila Allah menghendaki sesuatu Ia hanya memerintahkan: "Jadilah!"Maka jadilah ia (QS 36:78-82).

Ayat ini merupakan salah satu argumentasi terkuat dalam membuktikan kepastian hari kiamat. Dalam hal ini, Al-Kindi berkata: "Siapakah di antara manusia dan filsafat yang sanggup mengumpulkan dalam satu susunan kata-kata sebanyak huruf ayat-ayat tersebut, sebagaimana yang telah disimpulkan Tuhan kepada Rasul-Nya saw., dimana diterangkan bahwa tulang-tulang dapat hidup setelah menjadi lapuk dan hancur; bahwa qudrah-Nya menciptakan seperti langit dan bumi; dan bahwa sesuatu dapat mewujud dari sesuatu yang berlawanan dengannya."7

Disini terbukti bahwa ayat-ayat Al-Quran telah sanggup memblokade paham-paham jahiliah dari segala segi sehingga mereka tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio dan alam pikiran sehat.

Periode Ketiga

Selama masa periode ketiga ini, dakwah Al-Quran telah dapat mewujudkan suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi nama Al-Madinah Al-Munawwarah). Periode ini berlangsung selama sepuluh tahun, di mana timbul bermacam-macam peristiwa, problem dan persoalan, seperti: Prinsip-prinsip apakah yang diterapkan dalam masyarakat demi mencapai kebahagiaan? Bagaimanakah sikap terhadap orang-orang munafik, Ahl Al-Kitab, orang-orang kafir dan lain-lain, yang semua itu diterangkan Al-Quran dengan cara yang berbeda-beda?

Dengan satu susunan kata-kata yang membangkitkan semangat seperti berikut ini, Al-Quran menyarankan: Tidakkah sepatutnya kamu sekalian memerangi golongan yang mengingkari janjinya dan hendak mengusir Rasul, sedangkan merekalah yang memulai peperangan. Apakah kamu takut kepada mereka? Sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditakuti jika kamu sekalian benar-benar orang yang beriman. Perangilah! Allah akan menyiksa mereka dengan perantaraan kamu sekalian serta menghina-rendahkan mereka; dan Allah akan menerangkan kamu semua serta memuaskan hati segolongan orang-orang beriman (QS 9:13-14).

Adakalanya pula merupakan perintah-perintah yang tegas disertai dengan konsiderannya, seperti: Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya minuman keras, perjudian, berhala-berhala, bertenung adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Oleh karena itu hindarilah semua itu agar kamu sekalian mendapat kemenangan. Sesungguhnya setan tiada lain yang diinginkan kecuali menanamkan permusuhan dan kebencian diantara kamu disebabkan oleh minuman keras dan perjudian tersebut, serta memalingkan kamu dari dzikrullah dan sembahyang, maka karenanya hentikanlah pekerjaan-pekerjaan tersebut (QS 5:90-91).

Disamping itu, secara silih-berganti, terdapat juga ayat yang menerangkan akhlak dan suluk yang harus diikuti oleh setiap Muslim dalam kehidupannya sehari-hari, seperti: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki satu rumah selain rumahmu kecuali setelah minta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Demikian ini lebih baik bagimu. Semoga kamu sekalian mendapat peringatan (QS 24:27).

Semua ayat ini memberikan bimbingan kepada kaum Muslim menuju jalan yang diridhai Tuhan disamping mendorong mereka untuk berjihad di jalan Allah, sambil memberikan didikan akhlak dan suluk yang sesuai dengan keadaan mereka dalam bermacam-macam situasi (kalah, menang, bahagia, sengsara, aman dan takut). Dalam perang Uhud misalnya, di mana kaum Muslim menderita tujuh puluh orang korban, turunlah ayat-ayat penenang yang berbunyi: Janganlah kamu sekalian merasa lemah atau berduka cita. Kamu adalah orang-orang yang tinggi (menang) selama kamu sekalian beriman. Jika kamu mendapat luka, maka golongan mereka juga mendapat luka serupa. Demikianlah hari-hari kemenangan Kami perganti-gantikan di antara manusia, supaya Allah membuktikan orang-orang beriman dan agar Allah mengangkat dari mereka syuhada, sesungguhnya Allah tiada mengasihi orang-orangyang aniaya (QS 3:139-140).

Selain ayat-ayat yang turun mengajak berdialog dengan orang-orang Mukmin, banyak juga ayat yang ditujukan kepada orang-orang munafik, Ahli Kitab dan orang-orang musyrik. Ayat-ayat tersebut mengajak mereka ke jalan yang benar, sesuai dengan sikap mereka terhadap dakwah. Salah satu ayat yang ditujukan kepada ahli Kitab ialah: Katakanlah (Muhammad): "Wahai ahli kitab (golongan Yahudi dan Nasrani), marilah kita menuju ke satu kata sepakat diantara kita yaitu kita tidak menyembah kecuali Allah; tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, tidak pula mengangkat sebagian dari kita tuhan yang bukan Allah." Maka bila mereka berpaling katakanlah: "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslim" (QS 3:64).

Dakwah menurut Al-Quran

Dan ringkasan sejarah turunnya Al-Quran, tampak bahwa ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan pertimbangan dakwah: turun sedikit demi sedikit bergantung pada kebutuhan dan hajat, hingga mana kala dakwah telah menyeluruh, orang-orang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Ketika itu berakhirlah turunnya ayat-ayat Al-Quran dan datang pulalah penegasan dari Allah SWT: Hari ini telah Kusempurnakan agamamu dan telah Kucukupkan nikmat untukmu serta telah Kuridhai Islam sebagai agamamu (QS 5:3).

Uraian di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat Al-Quran disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat itu. Sejarah yang diungkapkan adalah sejarah bangsa-bangsa yang hidup di sekitar Jazirah Arab. Peristiwa-peristiwa yang dibawakan adalah peristiwa-peristiwa mereka. Adat-istiadat dan ciri-ciri masyarakat yang dikecam adalah yang timbul dan yang terdapat dalam masyarakat tersebut.

Tetapi ini bukan berarti bahwa ajaran-ajaran Al-Quran hanya dapat diterapkan dalam masyarakat yang ditemuinya atau pada waktu itu saja. Karena yang demikian itu hanya untuk dijadikan argumentasi dakwah. Sejarah umat-umat diungkapkan sebagai pelajaran/peringatan bagaimana perlakuan Tuhan terhadap orang-orang yang mengikuti jejak-jejak mereka.

Sebagai suatu perbandingan, Al-Quran dapat diumpamakan dengan seseorang yang dalam menanamkan idenya tidak dapat melepaskan diri dari keadaan, situasi atau kondisi masyarakat yang merupakan objek dakwah. Tentu saja metode yang digunakannya harus sesuai dengan keadaan, perkembangan dan tingkat kecerdasan objek tersebut. Demikian pula dalam menanamkan idenya, cita-cita itu tidak hartya sampai pada batas suatu masyarakat dan masa tertentu; tetapi masih mengharapkan agar idenya berkembang pada semua tempat sepanjang masa.

Untuk menerapkan idenya itu, seorang da'i tidak boleh bosan dan putus asa. Dan dalam merealisasikan cita-citanya, ia harus mampu menyatakan dan mengulangi usahanya walaupun dengan cara yang berbeda-beda. Demikian pula ayat-ayat Al-Quran yang mengulangi beberapa kali satu persoalan. Tetapi untuk menghindari terjadinya perasaan bosan, susunan kata-katanya --oleh Allah SWT-- diubah dan dihiasi sehingga menarik pendengarannya. Bukankah argumentasi-argumentasi Al-Quran mengenai soal-soal yang dipaparkan dapat dipergunakan di mana, kapan dan bagi siapa saja, serta dalam situasi dan kondisi apa pun?

Argumen kosmologis (cosmological argument) --yang oleh Immanuel Kant dikatakan sebagai suatu argumen yang sangat dikagumi dan merupakan salah satu dalil terkuat mengenai wujud Pencipta (Prime Cause)-- merupakan salah satu argumentasi Al-Quran untuk maksud tersebut. Bukankah juga penolakan Al-Quran terhadap syirik (politeisme) meliputi segala macam dan bentuk politeisme yang telah timbul, termasuk yang dianut oleh orang-orang Arab ketika turunnya Al-Quran?

Dapat diperhatikan pula, bahwa tiada satu filsafat pun yang memaparkan perincian-perinciannya dari A sampai Z dalam bentuk abstrak tanpa memberikan contoh-contoh hidup dalam masyarakat tempat ia muncul atau berkembang. Cara yang demikian ini tidak mungkin akan mewujud; kalau ada, maka ia hanya sekadar merupakan teori-teori belaka yang tidak dapat diterapkan dalam suatu masyarakat.

Tidakkah menjadi keharusan satu gerakan yang bersifat universal untuk memulai penyebarannya di forum internasional. Tapi, cara paling tepat adalah menyebarkan ajaran-ajarannya dalam masyarakat tempat timbulnya gerakan itu, dimana penyebar-penyebarnya mengetahui bahasa, tradisi dan adat-istiadat masyarakat tadi. Kemudian, bila telah berhasil menerapkan ajaran-ajarannya dalam suatu masyarakat tertentu, maka masyarakat tersebut dapat dijadikan "pilot proyek" bagi masyarakat lainnya. Hal ini dapat kita lihat pada Fasisme, Zionisme, Komunisme, Nazisme, dan lain-lain. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran itu khusus untuk masyarakat pada masa diturunkannya saja.

Tujuan Pokok Al-Quran

Dari sejarah diturunkannya Al-Quran, dapat diambil kesimpulan bahwa Al-Quran mempunyai tiga tujuan pokok:

  1. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
  2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
  3. Petunjuk mengenal syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain yang lebih singkat, "Al-Quran adalah petunjuk bagi selunih manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat."


selajengipun monggoo...