Senin, 22 September 2008

ISLAM SEBAGAI DOGMATIS

Demikianlah, Islam tidak lagi dijadikan sebagai tolok ukur bagi dakwah Islam. Sebaliknya, dakwah Islam akan dilakukan jika berjalan sesuai dengan kemaslahatan serta tidak mengundang bahaya dan kesulitan bagi para pengembannya.
Sikap semacam ini bukanlah bagian dari ajaran Islam yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, tetapi ajaran Islam yang telah mengalami sekularisasi sesuai dengan standarisasi Barat dan kemaslahatan yang didasarkan pada hawa nafsu. Upaya-upaya semacam ini justru telah mengkristalkan asas manfaat sebagai tolok ukur bagi kaum Muslim, yang telah diupayakan oleh kafir Barat siang dan malam untuk ditanamkan pada benak mereka. Akibatnya, tidak aneh jika akhirnya umat didominasi oleh pandangan-pandangan kafir Barat, sekaligus mengantarkan kafir Barat sebagai pemimpin bagi umat Islam. Hasbunallâh wa Ni’ma al-Wakîl.
Ketiga, hukum barat yang rasionalisme-pasif. Barat memandang bahwa antara akal dan agama merupakan dua sisi yang tidak bisa disatukan. Agama tidak berhubungan sama sekali dengan akal. Demikian pula sebaliknya. Agama harus diterima dengan sikap pasrah (dogmatis). Bahkan, mereka berpendapat bahwa agama dan akal akan selalu bertentangan. Pemikiran ini kita dapati saat terjadi pertarungan antara pihak gereja dengan para ilmuwan. Agama bagi mereka (gerejawan) adalah dogma yang bergantung pada kebijakan gereja. Pemahaman Barat terhadap agama semacam ini dicekokkan hukum islam oleh sebagian generasi Islam dengan jalan mengajarkan hukum Islam kepada mereka dengan bentuk yang dogmatis. Agama diambil dengan sikap pasrah dari generasi salaf mereka tanpa pernah mereka pikirkan dengan akal. Kebenaran akidah Islam bahkan harus dibangun atau harus sesuai dengan “keyakinan para salaf mereka”. Mereka menyerang orang-orang yang menyatakan bahwa akidah Islam wajib dibangun atas dasar akal dan akal harus digunakan sebagai pemutus kebenaran akidah Islam. Kadang-kadang mereka menyebut orang-orang semacam ini dengan sebutan kaum “rasionalis” dan kadang-kadang dengan sebutan, “neo-Mu’tazilah”. Pasalnya, mereka tidak memahami bagaimana akidah Islam diambil dan sejauh mana penggunaan akal dalam Islam dibolehkan. Mereka selanjutnya turut andil dalam menyebarkan pemikiran-pemikiran Barat tentang hubungan akal dengan agama (yang dianggap tidak mungkin bisa bersatu). Pada gilirannya, mereka hanya menonjolkan Islam hanya pada aspek-aspek ritual-dogmatis saja—seperti saat Barat berada pada masa kegelapan (Dark Age).
Sikap Dan Jawaban Islam

Bercokolnya pemikiran seperti ini di tengah-tengah masyarakat telah membawa kemunduran umat dan semakin menambah persoalan tersendiri. Anehnya, pemikiran ini banyak diemban oleh para pendakwah Islam serta sejumlah jamaah Islam. Oleh karena itu, harus ada sebuah kelompok yang sadar dan progressif yang bertugas mengembalikan Islam yang bersih dan suci ke dalam benak dan hati kaum Muslim, yakni Islam sebagaimana yang telah diturunkan kepada Rasulullah saw. Kelompok ini harus menjelaskan pemikiran-pemikiran tersebut kepada umat, jamaah Islam, dan para pengemban dakwah tersebut sebagai bagian dari komunitas masyarakat.
Atas dasar itu, saudara-saudara kita yang hanya menyerukan hukum-hukum fardhiyah saja dan mengabaikan hukum-hukum yang berhubungan dengan kemasyarakatan harus disadarkan bahwa Islam adalah agama yang menyeluruh yang menjelaskan semua urusan kehidupan. Allah SWT telah memerintah kita agar kita mengambil Islam secara keseluruhan. Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (Qs. al-Baqarah [2]: 208).
Allah SWT juga melarang kita meninggalkan sebagian hukum Islam serta melakukan diskriminasi terhadap perintah dan larangan-Nya. Allah SWT berfirman:
Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan azab kepada orang-orang yang membagi-bagi (Kitab Allah), yaitu mereka yang telah menjadikan al-Quran itu terbagi-bagi. Demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semuanya tentang apa yang mereka kerjakan dahulu. (Qs. al-Hijr [15]: 90-93).

Oleh karena itu, ajaran Islam tidak boleh diperlakukan diskriminatif, atau sebuah hukum dilebihkan atas hukum yang lain, atau Islam diklasifikasikan atas dasar urgensitas dan prioritasnya; kecuali bila ada dalil syariat yang menunjukkan hal tersebut.
Para pengemban pemikiran tentang asas manfaat (kemaslahatan berdasarkan hawa nafsu) harus dipahamkan bahwa Islam memiliki pandangan khusus tentang kemaslahatan, yakni, “Di mana ada hukum syariat, disitu pasti ada kemaslahatan (Haytsuma kâna as-syra’u fa tsammat mashlahah)”, bukan sebaliknya.
Kita, sebagai kaum Muslim, harus melaksanakan apa pun yang diperintahkan oleh syariat kepada kita tanpa memandang lagi apakah hal itu membawa manfaat atau bahaya bagi diri kita. Kemaslahatan bagi kita adalah kemaslahatan yang telah ditetapkan oleh syariat, bukan ditentukan oleh hawa nafsu. Oleh karena itu, kita mesti mencamkan firman Allah SWT berikut:

Diwajibkan atas kalian berperang, sementara perang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Akan tetapi, boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian; boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui. (Qs. al-Baqarah [2]: 216).
Bukankah nash-nash ini telah menjelaskan bahwa kaum Muslim diperintah untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, mengoreksi penguasa, serta memberantas kezaliman meski itu bisa membawa risiko kematian? Lalu, di manakah kemaslahatan ‘aqliyyah-nya di sini?

Sementara itu, orang yang mengkonfron-tasikan akal (Hukum Baart) dengan agama (Hukum Islam), sebagaimana yang pernah dilakukan oleh filosof dan gerejawan, maka kita harus menjelaskan kepada mereka, bahwa Islam adalah agama yang berlaku menyeluruh untuk seluruh manusia. Apabila kita harus mengebiri akal dari agama, lalu atas dasar apa kita mengajak manusia untuk menyakini agama? Apa bedanya antara Islam dengan Kristen pada kondisi semacam ini? Bagaimana pula cara kita bisa mengetahui keabsahan Kitab dan Nabi kita Muhammad Saw?
Untuk itulah, peran akal telah diakui keberadaannya dalam Islam. Akan tetapi, kami tidak menyerukan penggunaan aspek rasionalitas secara mutlak, karena seruan semacam ini keliru. Islam telah membatasi peran akal tetapi tidak berarti memberangusnya secara keseluruhan. Pemberangusan peran akal secara keseluruhan pada dasarnya bertentangan dengan prinsip akidah Islam; dengan keberadaannya yang mesti dibangun atas dasar akal. Sikap demikian juga bertentangan dengan ratusan ayat yang diserukan kepada ulil albâb, ulil nuhâ, dan ulil abshâr agar mereka memikirkan alam semesta; mengungkap rahasia-rahasianya; serta memahami bahwa alam semesta pasti diciptakan oleh al-Khâliq, Allah SWT, yang wajib diesakan dalam ibadah. Setelah itu, akal digunakan untuk membangun keimanan pada risalah Nabi Muhammad Saw. Setelah keimanan ini terbentuk, baru dijelaskan tentang peran wahyu yang telah membatasi peran akal hanya sebagai alat untuk memahami nash-nash dan fakta, tanpa memposisikannya sebagai hakim (penentu benar dan salah) secara mutlak. Pembatasan atas peran akal seperti ini akan menghindarkan keimanan dari omong-kosong dan keraguan; dari sekadar prasangka atau sikap taklid kepada nenek moyang; serta dari pengingkaran terhadap bulatnya bumi, beredarnya bumi mengelilingi matahari (revolusi), dan seterusnya.

Setelah itu, Allah menyerukan kepada orang-orang yang beriman agar mereka melaksanakan seluruh perintah dan menjauhi larangan-Nya, serta selalu berhukum dengan semua hukum-Nya. Allah SWT berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Kemudian, jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Sikap demikian adalah lebih utama dan lebih baik akibatnya. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 59).
Allah SWT juga berfirman:
Demi Tuhanmu, mereka tidak dipandang beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Qs. an-Nisaa’ [4]: 65).
Betapa indah apa yang dikatakan Ibn Hazm dalam kitabnya, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, ketika memberikan sifat kepada dua kelompok orang —yang menghukumi segala sesuatu dengan akal dan yang menolak penggunaan akal— dengan kalimat:
Kami tidak menjumpai kelompok yang sangat menolak penggunaan akal daripada dua kelompok berikut ini: (1) kelompok yang menolak peran akal secara mutlak; (2) kelompok yang memahami al-Khaliq sebagai “sesuatu” yang tidak bisa dipikirkan. Kemudian, mereka memahami al-Khaliq dan mengatur al-Khaliq dengan suatu aturan yang mereka wajibkan agar al-Khaliq tidak menyimpang dari aturan tersebut, yakni sesungguhnya perbuatan-perbuatan Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan berlangsung (terjadi) kecuali berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang telah mereka tetapkan. Kedua kelompok ini sesungguhnya telah berdusta dengan kedustaan yang sangat besar dan mendirikan bulu roma bagi orang yang memiliki akal. Sungguh, kami terdorong untuk menjelaskan apa hakikat akal itu.

Penutup
Akal adalah mencerap sesuatu yang terindera dengan indera dan pemahaman, kemudian memahami sifat-sifat yang dikandungnya berdasarkan apa yang terjadi pada sesuatu itu. Seseorang akan mengetahui —hanya dengan perantaraan akalnya— keesaan al-Khaliq, keabsahan kenabian orang yang memiliki bukti-bukti kenabian, serta kewajiban untuk taat kepada Yang telah menjanjikan neraka (ketika melakukan) maksiat kepada-Nya, serta seluruh perbuatan yang pembenarannya cukup dibuktikan oleh akal. Akan tetapi, akal tidak bisa menjangkau syariat-syariat Allah SWT. Ia harus menerima cara-cara yang telah ditetapkan dalam syariat apa adanya. Daging babi itu haram atau halal; kambing hutan itu haram atau halal; mengapa shalat zuhur empat rakaat atau shalat magrib tiga rakaat, semua ini bukanlah lahan yang mampu dicerap akal. Akan tetapi, akal hanyalah berfungsi untuk memahami perintah-perintah dari Allah SWT.
Kami tidak menduga bahwa keberadaan tiga pemikiran ini secara berangsur-angsur telah menjadi pemikiran yang memukau dan membelalakkan mata. Padahal, ketiga pemikiran ini tidak pernah bisa melahirkan generasi Islam, tetapi justru “generasi Barat”. Ketiga pemikiran tersebut juga telah menjadikan Islam layaknya agama Kristen, memberangus hukum syariat yang telah dijadikan sebagai standar perbuatan di dalam kehidupan, dan mematikan dakwah untuk menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Kaum Muslim sudah seharusnya senantiasa hidup sesuai dengan hukum-hukum Islam serta mengemban risalah Islam sebagai petunjuk bagi seluruh penjuru alam. Mereka tidak boleh berdiam diri terhadap pemikiran-pemikiran semacam ini karena telah nyata menimbulkan kehancuran umat. Pemeluk pemikiran-pemikiran semacam ini, sadar atau tidak, telah membantu kepentingan orang kafir, sekaligus memperpanjang umur orang kafir di negeri-negeri dan benak kaum Muslim. Bahkan, sadar atau tidak, mereka telah menjauhkan Islam dari kehidupan serta mencegah kembalinya Islam dalam kehidupan. Oleh karena itu, kita wajib menyerang pemikiran-pemikiran mereka dengan berbagai pemikiran dan hukum Islam dengan segenap kekuatan tanpa harus mempedulikan hasil dan akibatnya.

mereka menerima Islam bukan secara rasional, tetapi secara dogmatis. Ketika belajar Islam, proses berpikir yang cerdas tidak difungsikan. Mungkin karena literatur Islam yang mereka baca tidak cukup argumentatif. Sebaliknya, mereka menerima ideologi Barat secara sadar, melalui proses berpikir yang rasional. Menurut saya, pembelajaran Islam harus memenuhi 3 aspek. Pertama, harus rasional, maksudnya pengkajian materi ajaran Islam harus melibatkan proses berpikir bagi pengkajinya, bukan bersifat dogmatis atau doktriner. Kedua, harus ada pembenaran terhadap materi yang dikaji itu. Artinya, materi yang dikaji hendaknya menjadi keyakinan, bukan sekadar pengetahuan. Ketiga, materi yang dikaji harus praktis, bukan teoretis yang tidak ada faktanya dalam kenyataan empiris.

Pertanyaan dan kegelisahan yang keluar darinya soal agama yang selalu dia tanyakan ke gurunya, Mr. Khaki, selalu dianggap berbahaya dan subversif. Ia bertanya soal isu-isu keperempuanan misalnya soal jilbab, soal kenapa perempuan yang tidak bisa menjadi imam dan pemimpin, pemisahan laki-laki & perempuan, soal kebencian Islam terhadap Yahudi dan lain-lain. Mr Khaki selalu menjawab kalau ajarannya memang sudah begitu dan meminta Manji membaca Alquran terus menerus.

selajengipun monggoo...

Minggu, 21 September 2008

Konsep meniadakan Tuhan dalam realitas nyata adalah salah satu bentuk pengingkaran akan nilai-nilai ketauhidan serta nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.Sebab, agama manapun di dunia ini tidak hanya mengajarkan hubungan kemanusiaan saja tetapi agama juga mengajarkan nilai tertinggi yakni hubungan dengan Tuhannya. Ini sesungguhnya mengandung makna ketauhidan dalam dimensi agama.


Pertanyaannya adalah, kenapa kita ber-agama? Pertanyaan ini sungguh sangat klasik, sebab pemahaman secara terminologi akan melahirkan sekian banyak perdebatan dan pandangan yang berbeda satu sama lain dalam melihat konsepsi agama dalam realitas. Artinya, bahwa agama boleh jadi salah ditafsirkan sehingga menimbulkan pembenaran bukan kebenaran.


Artinya, secara etimologi agama mengandung dua pemaknaan "A" artinya Tidak, dan Gama artinya Kacau. Sehingga terjemahan secara literalisasi mengandung makna agama berarti tidak kacau. Sementara secara terminologi agama dipersepsikan sebagai pembawa rahmat bagi seluruh kehidupan manusia (rahmatan lil alamin).


Agama tentu dihadirkan Allah swt di muka bumi ini adalah untuk menjawab kehidupan peradaban manusia. Peradaban masa lalu yakni telah menggambarkan sebuah tatanan kehidupan "dehumanisasi" tidak memanusiakan manusia.


Contoh klasik ini begitu tampak jauh sebelum Islam diturunkan di muka bumi ini kerusakan akhlak telah melanda jazirah Arab tempat kelahiran manusia suci dan tersucikan Nabiullah Muhammad saw.


Realitas masa lalu itu digambarkan buramnya peradaban manusia. Bahkan dalam sejarah panjang kehidupan manusia dilukiskan bahwa sosok perempuan yang dilahirkan hanya untuk dijadikan tontonan serta pemuas hawa napsu bagi kaum laki-laki.

Dan sementara laki-laki yang dilahirkan justru dijadikan sebagai ketakutan yang cukup mendalam dalam kehidupan raja-raja di masa lalu. Nabi Musa as adalah bukti nyata yang mengancam kehidupan kerajaan Raja Firaun.



Tradisi Kultural


Sekalipun harus dipahami bahwa Islam tidak lahir di Eropa bahkan di Indonesia, tetapi yang perlu diketahui adalah Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin sehingga dengan fungsinya itu Islam merambah kehidupan seluruh umat manusia.


Memang sangat klasik, sebab perkembangan Islam di Indonesia tidak lahir di tengah kehidupan masyarakat yang maju. Tetapi Islam lahir di tengah kehidupan masyarakat yang transisi dari sebuah kehidupan yang primitif tanpa agama, kemudian berkembang menuju satu tatanan masyarakat pedagang.


Asumsi dasar perkembangan Islam di Indonesia lahir dari tradisi pedagang yang dibawa oleh para pedagang Gujarat dan Persia di semenanjung Malaya. Tepatnya di samudera Pasai.

Dalam perjalanan tersebut, tentu sebelum Islam mengalami perkembangan yang begitu cepat, tradisi kultural telah mewarnai wajah peradaban masyarakat Indonesia. Tradisi animisme dan dinamisme menjadi salah satu bentuk kepercayaan dalam masyarakat literal Indonesia.


Pengaruh budaya kerajaan Hindu dan Buddha yang ada di Kutai Kertanegara dan Majapahit yang sudah mengkristal dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tampaknya sangat sulit untuk mengubahnya dalam jangka waktu singkat.


Sehingga eksistensi Islam sebagai agama sekaligus sebagai ideologi tentu memerlukan waktu untuk mengubahnya. Dengan demikian, memunculkan tesa dalam melihat perkembangan tersebut.


Artinya, realitas budaya adalah fakta dari kehidupan masyarakat di masa lalu, sementara agama adalah satu tatanan yang berdimensi kultural yang secara general mengajarkan nilai-nilai secara universal dalam semua segmentasi kehidupannya.


Tradisi kultural dalam masyarakat Islam telah berlangsung cukup lama, dan itu sangat dirasakan dalam ruang publik kehidupan keberagamaannya. Sebab kristalisasi budaya mau atau tidak harus berhadapan dengan kondisi faktual dari ajaran Islam yang meletakkan ajaran sesuai Alquran dan As-Sunnah Rasul sebagai pedoman hidup manusia (Why of Life).


Artikulasi Islam budaya atau budaya Islam tentu berbeda di dalam penafsirannya. Islam sebagai budaya tentu mempunyai makna bahwa Islam yang telah diturunkan Tuhan dari langit lewat pewahyuan melalui perantaraan malaikat, bukan hanya sekadar ideologi tetapi Islam lebih sebagai pendorong suatu tatanan dan peradaban.

Sementara budaya Islam adalah dapat dipersepsikan seperti memperingati Maulid Nabi dengan hiasan telur yang beraneka ragam, barasanji, memperingati Israk Mikraj, Nuzulul Quran dan lain sebagainya yang dipandang sebagai bentuk tradisi dalam kehidupan Islam sekalipun memang bahwa tradisi seperti itu tidak pernah ada dalam sejarah Islam di masa lalu.


Tetapi yang pasti bahwa budaya Islam itu adalah bagian dari spirit di dalam mensyiarkan Islam di tengah masyarakat literalisasi kultural yang ada.


Dan harus disadari bahwa Islam yang begitu kompleks dengan berbagai macam masalah sosial yang ada, sudah dapat dipastikan bahwa Islam mau atau tidak harus menjawab tantangan itu. Kristalisasi budaya yang begitu besar pada prinsipnya menjadi tugas utama yang harus dijawab oleh Islam.


Bahkan persepsi yang keliru dalam memandang Islam itu juga menjadi tugas para ulama atau agamawan di dalam menjawab tantangan globalisasi. Sebab fenomena sosial, politik, ekonomi, demokrasi, budaya adalah kompleksitas dari seluruh kehidupan umat manusia kekinian.


Individu manusia ketika didekatkan dengan dominasi sosial maka ia cenderung bertindak individualistik. Ketika ia didekatkan dengan dominasi politik maka ia cenderung berperilaku menghalalkan segala macam cara. Ketika ia didekatkan dengan dominasi ekonomi maka ia cenderung berperilaku seperti rentenir.


Ketika ia didekatkan dengan dominasi demokrasi maka ia cenderung berperilaku seperti kebanyakan orang. Ini fakta dari suatu perilaku dari tatanan budaya.


Namun dari beberapa pendekatan perilaku dalam kehidupan manusia tentu lingkaran budaya masyarakat Islam yang demikian besar telah menempatkan Islam bukan hanya sekadar agama tetapi juga disebut sebagai budaya.


Dari ini sesungguhnya embrional munculnya adanya perdebatan di satu sisi Islam sebagai ajaran (ad din) tetapi juga sebagian orang melihat pada sisi akar budaya masa lalu yang kemudian disebut sebagai budaya.


Padahal sesungguhnya, perbedaan yang paling mendasar tentang agama dan budaya sudah selesai di perbincangkan. Namun realitas kembali menguak ketika munculnya berbagai sekte dalam kehidupan keberagamaan manusia. Munculnya berbagai penafsiran yang menyesatkan antara satu kelompok. Maka, lahirlah pembenaran atas agama.

Epistemologi hermeneutika selalu dijadikan pisau dalam menafsirkan agama dalam ranah kkehidupan manusia sebagai entitas penganut agama. Hal ini perlu dipahami, sebab dalam sejarah Islam tafsir hermeneutika tidak pernah ada. Sekadar kita pahami bahwa hermeneutika sebagai studi ilmu filsafat muncul di dalam menerjemahkan agama dalam kehidupan sosial.


Namun yang perlu diingat bahwa secara etimologis berasal dari kata hermeneuin yang berarti tafsir. Dalam mitologi Yunani, hermeneutika berasal dari kata hermes. Di mana dalam mitologi Yunani hermes adalah salah satu dewa yang bertugas menyampaikan kebenaran kepada masyarakat saat itu.


Tetapi yang paling mendasar adalah bahwa hermeneutika itu adalah instrumen untuk melacak kebenaran bibel dalam agama Kristen.


Jadi pada prinsipnya hermeneutika bukanlah alat analisis untuk menafsirkan Islam dalam konsepsi sebagai agama bukan kultural. Dengan demikian, Islam haruslah diterjemahkan dalam konteks sebagai agama, bukan yang lain sehingga Islam sebagai ajaran tidak bergeser sesuai dengan penafsiran dari individu-individu terhadap Islam itu sendiri.

Kapan ditafsirkan sesuai dengan nilai aqli kita maka pasti membias dan menciptakan stikmatisasi dalam melihat agama sebagai ideologi dan ajaran.


Dan harus diakui bahwa munculnya berbagai sekte, aliran dan nabi-nabi palsu sangat diilhami oleh adanya penafsiran yang berlebihan terhadap esensi dan substansi dari ajaran agama.


Dengan itu, akan menggeser makna agama sebagai tatanan sosial (manhaj sosial), ideologi dalam frame berpikir yang sesat. Tentu berakibat pada penolakan terhadap pembenaran-pembenaran yang dimunculkan oleh sekte yang bersangkutan.


Islam sebagai sifat dasarnya (rahmatan lil alamin), tentu mengajarkan sesuatu yang kaffah (universalitas) dalam dimensi kehidupan manusia, terutama kepada pengikutnya (umat) yang bukan hanya menyentuh aspek budaya saja.


Tetapi Islam sebagai agama universal mengajarkan nilai-nilai kebenaran dalam semua aspek kehidupan umatnya secara totalitas sebagaimana yang teramanahkan dalam kitabullah yang menyatakan "Hai orang-orang yang beriman, masuklah engkau dalam Islam secara kaffah".


Ini mengandung arti bahwa, Islam secara literal menganjurkan kebenaran kepada seluruh umatnya untuk secara totalitas menisbahkan dirinya, baik ia sebagai individu maupun ia sebagai jamaah untuk mengakui Islam sebagai kebenaran,


baik dalam dimensi sebagai ideologi maupun dalam berbagai aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya. Sebab, sebagai kata kunci Islam adalah manhaj yang kaffah dalam semua dimensi kehidupan. Amin. (*)

Ketika dewasa ini nilai-nilai dan norma-norma yang korup telah merasuk dalam sistem sosial kita, maka apa yang disebut dengan budaya Islam menjadi buram. Sikap dan tindak-tanduk kita tidak lagi sama dengan nenek moyang kita pada beberapa abad yang lalu. Padahal Islam dapat menyebar dengan cepat dan saat ini Islam menjadi agama kedua terbesar di dunia semata-mata karena sikap dan perilaku keteladanan yang dilakukan dan ditampakkan oleh umat Islam masa lalu. Sebaliknya kita lihat dewasa ini pelanggaran besar terhadap dimensi utama budaya Islam banyak dilakukan oleh umat.

Pada masyarakat kontemporer saat ini, kita agaknya lebih memfokuskan diri pada norma daripada nilai-nilai. Kita lebih terfokus pada perintah dan larangan dan kurang akan nilai-nilai (values). Kultur Islam telah meletakkan fondasi norma dan nilai-nilai, tetapi sebagaimana dikatakan di muka, kita kurang mendapat informasi atau penjelasan tentang nilai-nilai yang begitu esensial dalam rangka menjamin kehormatan dan harga diri kehidupan umat manusia dalam interaksi sosial keseharian kita. Memahami aspek-aspek kognitif dan normatif budaya merupakan dasar untuk memahami kultur dan budaya Islami. Tetapi, terdapat dua dimensi budaya yang memerlukan sedikitnya perhatian singkat kita, yakni integrasi kultur dan relativisme budaya. Ini akan memungkinkan kita untuk memahami bagaimana kultur dapat dipengaruhi oleh kompleksitas masyarakat modern.Integrasi Budaya

Sejumlah sarjana mengatakan bahwa kultur adalah sebuah ‘sistem yang tertata (ordered)’. Ia memiliki banyak unsur-unsur budaya. Dalam masyarakat Islam yang kecil pada masa lalu, kepercayaan agama dan nilai-nilai kekeluargaan terjalin jadi satu dalam tindak tanduk para pemeluk Islam. Hubungan sosial antara orang-orang yang beragama dengan orang biasa terpadu harmonis. Masyarakat Islam secara keseluruhan terintegrasi dengan baik dengan sedikit terjadi adanya friksi dan ketegangan dalam hidup keseharian. Akan tetapi dewasa ini pengaruh-pengaruh kultur modern telah mengarah pada kehidupan yang kurang integratif antara sesama muslim, dan ini terjadi juga pada masyarakat dari agama lain. Tingkat perubahan sosial yang relatif cepat dan adanya kompleksitas serta ukuran struktur sosial menimbulkan banyak terjadinya inkonsistensi dan sejumlah ketegangan. Tidak jarang terjadi sikap yang kurang toleran dan kurangnya saling memahami antara masyarakat secara umum. Umat Islam tidak terkecuali dalam hal ini. Adalah mustahil kita dapat memiliki budaya yang seragam untuk umat Islam seluruh dunia. Alasan yang sederhana untuk ini adalah lingkungan sosial di mana anak-anak muslim bersosialiasi; sedang kalangan muslim dewasa bersosialisasi kembali membentuk berbagai variasi yang beragam antara satu tempat dengan tempat yang lain.

Relativisme Budaya

Ketidakseimbangan sosial ini perlu dikoreksi. Dengan kata lain, dalam rangka untuk mengimbangi sikap intoleransi dan kecilnya saling pengertian yang ditunjukkan masyarakat pada kultur lain, maka terdapat ide dan argumen akan perlunya kita menyadari adanya relativitas budaya di kalangan umat Islam. Relativisme budaya menekankan pada adanya fakta bahwa seluruh kultur manusia pada dasarnya sah dan legitimate dan masing-masing memiliki integritas esensialnya sendiri; setiap budaya dikembangkan oleh perjuangan manusia untuk menciptakan sebuah kehidupan simbolik dalam keadaan-keadaan yang dibatasi oleh lingkungan alam. Karena bersifat selalu berbeda satu sama lain, maka dengan sendirinya tidak ada satupun budaya yang mesti jadi preferensi. Preferensi kita, tentunya masing-masing dari kita memiliki preferensi, hanyalah membuktikan bahwa nilai-nilai dan pilihan-pilihan kita telah dibentuk oleh budaya kita sendiri. Karena itu, dari perspektif relativisme budaya sikap dan perilaku manusia dalam sebuah masyarakat harus dinilai dengan standar kultural masyarakat yang bersangkutan, tidak oleh standar yang lain.

Satu hal yang mesti dicatat bahwa kita cenderung menjadi etnosentris ketika memberi penilaian terhadap masyarakat dan budaya lain dengan standar norma-norma dan budaya kita sendiri. Kita memiliki kecenderungan untuk percaya bahwa apa yang kita tahu dan terima adalah yang terbaik, dan apa yang tampak berbeda dan aneh adalah tidak berguna dan inferior. Sikap ini mungkin kurang tepat. Muslim yang tinggal di tempat, daerah atau negara yang berbeda tidak dapat dan tidak memiliki kultur yang sama. Muslim di suatu negara atau daerah hendaknya tidak jadi wasit penilai terhadap perilaku muslim di negara atau daerah lain dengan mengatakan bahwa mereka lebih superior dibanding yang lain. Hal yang paling esensial adalah mandat Islam pada kita untuk memelihara perilaku kultural utama yang khusus hendaknya tidak dilanggar.

Sebagai salah satu jalan untuk menentang sikap sempit etnosentrisme, relativisme budaya dapat membebaskan dan dapat menghindari konflik dan ketegangan kecil antar-umat yang tidak perlu. Ia dapat membebaskan kita dari ketidakpedulian dan arogansi pola pemikiran bahwa budaya dan nilai-nilai yang kita anut adalah yang terbaik. Relativisme budaya mengajarkan kita berbagai cara untuk menjadi manusia beradab yang telah diciptakan dan dielaborasi, dinilai dan dipertahankan, sepanjang evolusi umat manusia.

Cara-cara yang dilakukan Islam, sepanjang sejarah penyebarannya, adalah untuk memahami. Sedang mempraktikkan relativisme budaya merupakan contoh terbaik dalam kehidupan antar-umat beragama dalam teori dan praktik. Islam tidak mengijinkan pemaksaan budayanya pada yang lain. Islam tidak membolehkan penghakiman atas nilai-nilai yang dianut orang lain. Islam hanya mengatakan kalian ikuti apa yang terbaik yang sesuai untuk umat manusia biasa, tanpa mengganggu rasa sentimen yang lain. Dalam konteks lokal keindonesiaan, di mana pola perikehidupan beragama sangat beragam dan plural termasuk antar-sesama umat Islam sendiri, relativisme budaya saya kira merupakan salah satu cara terbaik untuk menuju sikap hikmah (wisdom) atau arif dan bijak dalam melihat perbedaan-perbedaan ‘kecil’ yang, suka atau tidak suka, sudah terjadi dan, dengan demikian, menjadi realitas kehidupan keseharian. Sikap ini tentu saja juga menyangkut cara pandang kita terhadap para pengikut agama lain.[]

selajengipun monggoo...

Jumat, 05 September 2008

sodaqoh


Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw. lalu berkata: Wahai Rasulullah, sedekah manakah yang paling agung? Rasulullah saw.
bersabda: Engkau bersedekah ketika engkau sehat lagi kikir dan sangat memerlukan, engkau takut miskin dan sangat ingin menjadi kaya. Jangan engkau tunda-tunda sampai nyawa sudah sampai di kerongkongan, baru engkau berpesan: Berikan kepada si fulan sekian dan untuk si fulan sekian. Ingatlah, memang pemberian itu hak si fulan (HR Muslim)

selajengipun monggoo...